.
.
"Saya tahu ucapan ini tak mengubah apapun, tapi -- jika pelaku pembunuh Ustaz Ilyasa tidak tertangkap di dunia, dia akan menerima balasan dari perbuatannya di akhirat. Pasti."
.
.
***
Dua bulan berlalu ...
"Bu, aku berangkat!" seru Raesha pada ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.
"Oke. Hati-hati, sayang. Perutmu udah mulai besar gitu," sahut Erika yang segera menutup keran air.
"Iya, Bu," Raesha mencium tangan ibunya. "Ibu kalo capek, kita bisa minta satu atau dua pelayan di rumah Adli untuk ke sini. Adli udah nawarin sejak lama, sih. Maksudku, biar Ibu gak usah repot-repot beberes dan masak di sini. Aku kasihan sama Ibu," ucap Raesha dengan ekspresi merasa bersalah.
Erika tersenyum. "Gak usah. Rumahmu 'kan gak luas-luas amat. Kalo taman, 'kan ada tukang kebun yang ngurusin. Anak-anak juga bantuin nyapu. Ibu masak juga gak heboh. Menunya yang sederhana aja. Itung-itung, Ibu olahraga sekaligus melatih skill memasak yang udah lama gak diasah. Kalau tinggal di rumah yang besar banget itu, tau 'kan, semua-semua dikerjakan pelayan. Badan bisa sakit kalo gak dipakai bergerak."
"Maafin ya, Bu. Aku udah sebulanan ini sibuk meeting sama syuting acara live terus. Gak bisa bantuin Ibu."
"Gimana sih? Kamu 'kan emang gak boleh ngerjain yang berat-berat. Sebenarnya, kalau bukan karena kamu sibuk dengan urusan dakwah, Ibu mungkin gak akan rela kamu keluar rumah. Nanti kalo bayimu kenapa-kenapa --"
"Iya iya. Kalo bayiku sampai kenapa-kenapa, Ibu dimarahin Kak Yunan, 'kan?" lanjut Raesha dengan lengosan kesal. Erika tertawa.
"Ibu mau syuting, ya?"
Ishaq yang bertanya. Berdiri dengan buku tulis di tangannya. Pertanda ia sedang mengerjakan pe er bersama Kakaknya.
"Iya, sayang. Ibu pergi dulu, ya. Nanti sore insya Allah udah di rumah. Ishaq sama Kakak, yang nurut ya di rumah sama Eyang. Kalo mau main ke rumah temen, pamit dulu sama Eyang, dan jangan lama-lama," Raesha memberikan wejangan-wejangannya, seraya mengelus kepala putra bungsunya.
"Aku mau ikut ke tempat syuting, Bu!" rengek Ishaq.
Wajah Raesha pucat mendengarnya. "Aduh, jangan ya, sayang. Ishaq di rumah aja sama Eyang," rayu Raesha. Bisa berabe kalau bocah ini ikut ke tempat syuting.
"Aku juga ikut, Bu!" Ismail muncul berlari keluar dari kamarnya.
Waduh. Nambah lagi satu, batin Raesha.
"Ismail sama Ishaq sama Eyang aja, ya. Nanti kita jajan es krim," rayuan nomor dua dilancarkan Erika.
"Ah aku bosen es krim!" teriak Ishaq lantang.
"Eh Ishaq! Gak boleh bilang 'ah' ke Ibu!" Ismail mengingatkan.
"Aku gak bilang ke Ibu, tapi ke Eyang," Ishaq membela diri.
Erika memberi ekspresi datar.
"Hus! Eyang itu, Ibunya Ibu. Jadi gak boleh juga bilang 'ah' ke Eyang," jelas Raesha.
Ishaq terdiam sesaat. "Uh. Aku bosen es krim," ralat Ishaq.
Erika melengos pasrah. Sudahlah. Eyang yang ajaib memang akan menurunkan cucu yang ajaib.
"Kalian maunya apa, deh! Nanti Eyang beliin!" Erika pasrah hendak menuruti kemauan kedua bocah ini, asal mereka tidak merecoki pekerjaan putrinya.
"Mau main ke tempat syuting Ibuu!!" rengek Ishaq sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
EspiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...