279 - Tim Jaga

214 68 4
                                    

.

.

"Ayo kita tidur aja, Adli. Kita pura-pura mati aja."

.

.

***

Rintik hujan turun ke bumi. Butirannya saling susul-menyusul, membasahi tanah ibukota, mendinginkan malam.

"Ya salam. Hujan," gumam Haya sambil menoleh ke luar jendela yang menghadap ke parkiran mobil.

"Kenapa emang, kalo hujan?" tanya Adli sambil mengunyah camilan kue di depan televisi yang menyala. Duo bocil ikut menonton TV bersama Adli di ruang duduk.

"Aku baru mau keluar, mau beli pembalut," jawab Haya lesu.

"Pake payung aja," sahut Adli enteng, dengan mata masih terpaku ke televisi. Mulutnya sibuk mengunyah. Kalau sedang begini, kelakuan Adli mirip Dana kalau sedang nonton TV sambil makan keripik singkong. Tapi sekarang gigi Dana sudah tak bisa menggigit keripik singkong lagi. Masa-masa keemasan itu telah usai.

"Tanya Elaine aja. Kali aja dia punya pembalut."

Haya menoleh ke arah kakaknya yang sedang menonton film kartun bersama Ismail dan Ishaq. Salah satu koleksi film kartun milik Ishaq. Karena menuruti kemauan Ishaq, Ismail dan Adli mengalah dan ikut nonton bareng film kartun.

"Kakak tanyain Elaine, dong," pinta Haya merajuk.

Adli menatap sengit ke arah adiknya. "Aku? Tanya pembalut ke Elaine? Kamu mau wibawaku di depan Elaine jatuh?"

Haya merengut. "Gayamu, Kak. Wibawa apaan?"

Adli memicingkan mata dengan sinis. Haya melengos. Calon penerus posisi CEO Danadyaksa Corp. yang satu ini, memang menyebalkan, batin Haya. Padahal Haya berbaik hati memberikan Adli alasan untuk ngobrol dengan Elaine. Tapi ternyata membahas tentang pembalut, di mata Adli terdengar seperti pembicaraan yang dapat menurunkan wibawanya.

Dengan langkah gontai, Haya berjalan menuju dapur.

"Elaine, aku bisa bantuin apa?" tanya Haya dengan senyum manis.

Elaine berdiri di dekat meja dapur, memakai celemek, sedang mewadahi lauk dan sayur.

"Makanan udah selesai, Tante. Nanti Tante bisa bawain ini aja ke meja makan," jawab Elaine sambil membalas senyum.

"Waah. Keren!" gumam Haya dengan nada kagum, saat melihat sayur asam, tempe goreng, ikan asin dan sambal sudah siap di wadahnya masing-masing.

"Cuma masakan sederhana, Tante. Aku belum bisa masak yang susah-susah," ucap Elaine merendah.

"Ini sih, kalo buat aku, gak sederhana," kata Haya melengos. Elaine menahan senyum. Ia memang sudah diwanti-wanti oleh Umminya, bahwa perempuan harus bisa memasak, sekalipun hanya masakan sederhana. Jadi meski Elaine tinggal jauh dari Umminya, Elaine minta diajari memasak oleh koki di rumah Eyang Yoga. Jika Elaine pulang ke tempat suluk saat liburan, dia digembleng Arisa di dapur. Harus! Wajib bisa masak pokoknya! Masak adalah keahlian dasar dalam mengarungi kehidupan. Hidup masak!

"Elaine, kamu bawa pembalut gak?" tanya Haya malu-malu.

"Aku gak bawa, Tante. Tante datang bulan?"

"Iya. Baru aja," jawab Haya manyun.

"Yah. Aku gak bawa, soalnya emang lagi bukan jadwalnya sih. Tante mau aku beliin pembalut di warung?"

Haya menggeleng dengan senyum di bibirnya. "Gak usah, Elaine. Biar aku keluar sendiri aja."

"Lho? Tapi hujan di luar," kata Elaine sambil mendengarkan saksama suara rintik hujan yang mulai menderas di luar.

Adli muncul di dapur. "Elaine, aku bisa bantu apa?" tanya Adli sebelum terperanjat melihat hasil masakan Elaine.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang