.
.
"Kamu mau melepas infus itu? Langkahi dulu mayatku!"
.
.
***
Yoga dan Erika memasuki ruang rawat. Lengkap sudah orang-orang yang diundang Arisa sore ini. Anak-anak tidak diikutsertakan. Elaine dan Haya sedang menjaga Ismail dan Ishaq di rumah Ilyasa. Adli di kantor. Nanti agak malam, Adli akan menyusul Elaine dan Haya, setelah menjemput Raesha di rumah sakit. Rencananya begitu.
"Ada apa?" tanya Yoga yang nampak berwibawa meski hanya mengenakan jas dua kancing berwarna donker, sweater abu dan celana panjang cokelat.
"Ayah, Ibu, maaf tiba-tiba menelepon tadi siang. Ada hal penting yang mau aku sampaikan," jawab Arisa sambil berdiri menyambut kedua mertuanya.
Semua orang diam, menunggu Arisa bicara.
"Aku berencana untuk melepas infus dan membawa Yunan pulang ke tempat suluk," kata Arisa tegas.
Semua orang terkejut, kecuali Zhafran.
"Apa maksudmu?? Yunan tidak pergi ke mana-mana! Aku tidak setuju infusnya dilepas!! Obat di infus itu yang mencegah pendarahan otaknya semakin parah!" teriak Yoga.
Erika menahan lengan suaminya, mencegah suaminya meluapkan emosi pada menantu sendiri. "Tenang, sayang," bisik Erika.
"Aku sudah bicara pada dokter. Obat di infus itu, hanya mencegah pendarahan, tapi tidak menyembuhkan. Dan obat itu punya efek buruk kalau dikonsumsi dalam jumlah banyak. Sejak awal dokter sudah menyatakan bahwa mereka tak bisa berbuat banyak. Yunan bisa bertahan sampai hari ini, itupun sebenarnya sudah merupakan keajaiban. Sebab dokter awalnya memperkirakan Yunan hanya bisa bertahan mungkin hanya dua hari sejak dia dibawa ke sini. Dan sekarang, sudah nyaris seminggu. Alhamdulillah, kita bersyukur keajaiban itu terjadi. Tapi sekarang, apakah infus itu tetap dipasang, atau dilepas, keduanya punya efek buruk. Aku sebagai istrinya, memutuskan untuk melepas saja infus itu, besok lusa."
Yoga maju menghampiri menantunya. "Aku tidak setuju! Kamu memang istrinya, tapi aku Ayahnya! Meski Yunan bukan darah dagingku, tapi aku sudah sejak lama menganggapnya putra kandungku sendiri!" Mata Yoga berkaca-kaca saat mengatakannya, ia nampak berusaha keras agar tidak menangis di tempat.
"Sayang, jangan begitu. Yunan sudah punya keluarga sendiri. Istrinya berhak mengambil keputusan," rayu Erika dengan suara pelan, meski air mata sudah meleleh di pipi Erika.
"Apa hanya itu pertimbanganmu? Jika iya, aku tetap menolak dengan tegas! Kamu mau melepas infus itu? Langkahi dulu mayatku!" ucap Yoga dengan bibir gemetar. Air matanya menitik bersusulan.
"Sayang!" bentak Erika dengan suara tertahan.
Raesha menangis sambil menutup bibirnya. Menahan suara sesenggukannya terdengar keluar. Kak Yunan akan mati kah jika infus itu dilepas?
"Aku punya pertimbangan lain. Jika Yunan terus-terusan dirawat di rumah sakit ini, banyak urusan dakwah yang terbengkalai. Bukankah semestinya Ilyasa mengurus madrasahnya? Aku dan Zhafran semestinya memimpin majelis di tempat suluk. Jama'ah kami belum mendapatkan materi apapun, setelah do'a bersama untuk Yunan. Ini tidak baik. Seandainya Yunan dalam kondisi sadar, dia tidak akan suka jika dakwah terhambat karena dirinya," jawab Arisa, bergeming dari emosi Yoga yang nampak meluap-luap.
Ilyasa tertunduk dalam. Jemarinya menggenggam erat besi ranjang pasien. Seandainya Kak Yunan mati sesaat setelah infusnya dicabut, dia belum sempat meminta maaf langsung pada Kak Yunan. Tangisnya tak dapat ditahan. Beginikah akhir hubungan mereka? Sungguh dia menyesali tiap detik yang terjadi di dalam lift waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...