376 - Studio

204 60 6
                                    

.

.

"Kenapa kamu matikan TV-nya?"

.

.

***

Yunan turun dari mobil. Baru saja tiba dari Palembang, setelah tiga hari menginap di sana. Ia diminta mengajar di pesantren milik putranya almarhum Syeikh Abdullah.

Mahzar menyusul, membawakan barang-barang Yunan.

Zhafran berdiri di depan akses masuk tempat suluk, di samping masjid. Tersenyum menyambut kedatangan Yunan yang jika dilihat sepintas penampilannya, tidak terlihat seperti ulama. Hanya mengenakan dalaman kaus dan luaran jaket tipis, plus celana panjang. Zhafran lebih nampak seperti ustaz ketimbang Yunan.

"Assalamu'alaikum, Syeikh. Marhaba," Zhafran berusaha mencium tangan Yunan, tapi kali ini Yunan berhasil menarik tangannya tepat waktu.

"Wa'alaikumussalam. Istri saya mana?" tanya Yunan. Yang pertama kali ditanya Yunan jika baru tiba di rumah, adalah istrinya.

"Sedang di ruang TV, Syeikh. Menunggu acaranya Ustadzah Raesha dimulai," jawab Zhafran.

Kernyitan di dahi Yunan nampak. "Memangnya, acara live itu sudah mulai? Sejak kapan?"

"Siarannya sudah berlangsung tiga kali, Syeikh. Ismail dan Ishaq gak cerita?" Zhafran balik bertanya. Selama ini, dilihatnya Ismail dan Ishaq beberapa kali mengobrol dengan Yunan melalui video call. Memang sih, selama ini tiap minggu Yunan ada saja undangan mengajar. Baru berapa hari di rumah, sudah pergi lagi.

"Waktu itu cuma bilang kalau ibu mereka sibuk meeting ke studio TV. Tapi aku gak tahu kalau acaranya sudah mulai," jelas Yunan. Kedua bocah itu kalau video call, bicaranya melantur ke mana-mana. Kucing peliharaan anak tetangga pun diceritakan.

"Iya. Acaranya tiap Sabtu. Oh pantas. Selama ini tiap akhir minggu, Syeikh pas sedang ada undangan keluar," kata Zhafran.

"Tolong taruh di ruang tamu saja, Mahzar. Syukran," kata Yunan pada Mahzar yang berdiri di belakangnya sambil membawa tas milik Yunan.

"Kheir, Syeikh," sahut Mahzar patuh, sebelum membawakan tas ke arah rumah Yunan.

Yunan melangkah ke arah ruang duduk. Dilihatnya dari belakang, Arisa dan Maryam sedang duduk di kursi kayu, mengobrol di depan televisi.

Mendengar langkah kaki, Arisa hendak menutup cadarnya, tapi urung saat menyadari siapa yang datang.

"Sayang? Kamu sudah pulang?" sambut Arisa berdiri.

"Aku ke rumahku dulu," kata Maryam buru-buru pamit pada Arisa. Tidak ingin mengganggu suami istri itu.

"Tidak perlu pergi. Di sini saja, tidak apa-apa, Ustadzah," kata Yunan ramah.

"Afwan, Syeikh. Memang ada yang saya perlu kerjakan di rumah," sahut Maryam sembari membungkuk sopan dan dengan isyarat tangan mempersilakan Yunan untuk duduk di samping Arisa.

Maryam pergi ke rumahnya. Tak ingin menjadi 'nyamuk' di antara pasangan itu. Dia tahu, kebiasaan Yunan tiap kali pulang dari luar kota, pasti mencari istrinya. So sweet banget, pikir Maryam.

Arisa mengambil remot dan mematikan TV, sebelum mencium tangan Yunan. "Gimana perjalanannya, sayang?" tanya Arisa.

"Lancar. Alhamdulillah. Kenapa TV dimatikan? Zhafran bilang, kamu lagi nungguin siaran live-nya Raesha?" tanya Yunan yang heran melihat istrinya terkesan buru-buru mematikan televisi.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang