.
.
"Semalam aku menemani Raesha ke dokter kandungan. Dia hamil dua bulan."
.
.
***
"A-Aku ... positif."
Raesha mengucapkan dua kata itu, dengan air mata menganaksungai di pipinya.
Arisa ternganga syok. Bingung harus bereaksi apa.
Sedetik kemudian, Raesha terjatuh berlutut ke lantai dan menutup wajahnya. Menangis hingga punggungnya gemetar hebat.
Arisa berlari menghampiri.
"Kamu hamil, Raesha? Bukankah itu kabar baik? Kenapa kamu nangis?" hibur Arisa sambil mengelus punggung Raesha.
Raesha menurunkan kedua tangannya dan menegakkan tatapannya ke arah Arisa.
"Tapi, Kak. Aku hamil dalam keadaan suamiku sudah tidak ada," ucap Raesha sesenggukan.
"T-Tapi, apa yang kamu cemaskan? Ini anak Ilyasa," kata Arisa menyentuh perut Raesha. Pikiran buruk sempat diembuskan setan ke benaknya. Sebentar. Ini anak Ilyasa, 'kan? Arisa segera istigfar setelahnya. Tentu saja ini anak dari benih Ilyasa. Memangnya, dia pikir Raesha wanita macam apa?
"Anak ini akan lahir tanpa bapaknya. Lalu, bagaimana kalau orang-orang meragukan siapa bapaknya?" tanya Raesha dengan sorot mata kegalauan. Ada panik bercampur takut di binar matanya.
"Enggak, Raesha! Jangan mikir gitu! Orang-orang akan maklum. Kondisi ini bisa saja terjadi. Ada wanita-wanita lainnya di luar sana, yang mengalami seperti apa yang kamu alami. Kehilangan suami dalam keadaan hamil. Itu bukan hal yang aneh."
"Masalahnya, Kak. Kehamilan mereka mungkin sudah terlihat, saat mereka ditinggal suami. Sedangkan aku? Saat Ilyasa meninggal dua bulan lalu, aku belum menampakkan tanda-tanda kehamilan sama sekali. Lalu kalau nanti tiba-tiba perutku membesar, apa yang orang-orang akan pikirkan??" Raesha kembali pecah tangisnya.
Arisa menatapnya iba.
"Jangan pikirkan itu, Raesha. Yang penting, kamu harus jaga baik-baik kandunganmu," ucap Arisa dengan suara lembut.
"Apa aku sanggup, Kak, mengurus anak ini sekarang? Aku merasa, waktunya tidak tepat. Kondisi kejiwaanku sedang seperti ini. Aku juga harus mengurus Ismail dan Ishaq. Lalu anak ini --" Raesha kembali terisak, sebelum tangisnya tiba-tiba terhenti. Pastilah setan yang membisikkan ide itu saat ini. Ya 'kan? Bagaimana mungkin dia berpikir untuk membunuh anak dari benih Ilyasa? Apa dia sudah gila atau kemasukan setan? Ataukah jin yang dulu pernah merasukinya, sekarang menguasai tubuhnya kembali, tepat setelah Ilyasa pergi?
Arisa mencengkeram pundak Raesha keras. "Raesha!! Lihat Kakak!!" bentak Arisa dengan mata memelotot.
Raesha menatap Arisa dengan tatapan kosong. Ia merasa terpukul dengan lintasan pikirannya sendiri. Bagaimana seorang yang dipanggil 'ustadzah', berpikir untuk menggugurkan kandungan, hanya karena takut dengan tuduhan orang-orang?
"Jangan sekali-kali kamu berpikir untuk menggugurkan kandungan ini, hanya karena kamu merasa kamu tidak sanggup mengurusnya!! Allah yang akan menyanggupkanmu, insyaallah! Jika Allah menetapkan anak ini lahir dari rahimmu, maka Allah juga yang akan memberimu kekuatan untuk melahirkannya ke dunia! Dan jangan pikirkan orang lain! Biarkan mereka dengan pikiran mereka sendiri!!"
Bentakan Arisa membuat Raesha tersentak. Mungkinkah kondisi kemerosotan imannya ini, terjadi karena dia sudah jarang berzikir, selepas kepergian Ilyasa? Zikir selepas salat, hanya dikerjakan setengah sadar. Seperti halnya mesin otomatis saja. Tak ada sirr-nya. Amalan hariannya lepas semua. Tak ada lagi salat qiyamul lail.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
EspiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...