326 - Duka

261 86 15
                                    

.

.

"Tapi aku khawatir dengan Raesha."
.

.

***

Tepat setelah penguburan Yoga dan Ilyasa, langit kembali menurunkan gerimis, lalu hujan, meski tak sederas hujan semalam.

"Siang ini Ustaz Umar insyaallah tiba di sini," kata Zhafran memberi kabar, setelah membaca chat dari Ustaz Umar di ponselnya.

"Oh? O-ke," sahut Yunan. Adli sedang berada di kamarnya. Mungkin nanti siang Ustaz Umar bisa takziyah meski kedua jenazah telah dikubur. Yoga bukan orang biasa bagi Umar. Ketika mendengar kabar bahwa Yoga meninggal, Ustaz Umar menangis tersedu. Tak tega Yunan mendengarnya. Yoga telah dianggap anak atau adik sendiri oleh Umar.

Mereka sedang berada di kamar yang disediakan oleh pelayan keluarga Danadyaksa, untuk tempat beristirahat bagi Ustaz Zhafran dan Mahzar. Yunan, Zhafran, Mahzar. Zhafran dan Mahzar duduk di tepi kasur, sementara Yunan duduk di kursi rodanya.

"Syeikh, afwan. Saya paham suasananya masih berduka, tapi sebenarnya, Ustaz Umar sudah tanya beberapa kali pada saya, kapan kita kembali ke tempat suluk? Karena pesantren Ustaz Umar sedang agak sibuk minggu ini sampai dua minggu ke depan. Ada beberapa jadwal acara besar. Kemungkinan mereka gak bisa kirimkan ustaz untuk mengisi kajian di tempat suluk, di waktu-waktu itu. Apa sebaiknya saya saja yang pulang lebih dulu? Tapi saya merasa tidak enak kalau pulang mendahului Syeikh," tanya Zhafran mengeluarkan uneg-uneg yang sudah mengganjal di benaknya sejak dua mingguan ini, dimulai sejak Yunan koma.

"Ustaz Zhafran ini, lho. Syeikh masih dalam suasana berkabung!" ujar Mahzar dengan memicingkan mata.

"Iya saya tahu, Mahzar. Tapi majelis kita gimana? Sudah banyak jadwal kajian yang terpaksa dikosongkan, karena ustaz dari pesantren Ustaz Umar, tidak selalu bisa mengirim guru pengganti!" balas Zhafran setengah mengomel. Mahzar pakai ikut-ikut komentar segala. Memangnya aku gak paham kalau suasananya sedang berkabung? misuh Zhafran dalam hati.

Yunan menghela napas. "Ma-lam i-ni, ki-ta me-ngi-nap di si-ni. Be-sok si-ang, ki-ta be-rang-kat ke Pa-dang."

"Kheir, Syeikh," sahut Zhafran patuh. Ia lega mendengarnya. Rasanya tidak nyaman meninggalkan istri dan putrinya berduaan saja di tempat suluk.

.

.

"Gi-ma-na Rae?" tanya Yunan pada istrinya, di luar pintu kamar Erika. Sebab di dalam kamar lebih sepi sekarang. Claire sudah pamit pulang, katanya. Dana masih pingsan di kamarnya, ditemani oleh Raihan. Elaine, Haya dan Adli sedang berada di kamar mereka masing-masing. Jadi Yunan tidak enak kalau masuk ke dalam kamar Erika, sebab ia akan jadi satu-satunya laki-laki di sana. Ada Ismail dan Ishaq bersama ibu mereka, tapi tentu saja kedua bocah itu tidak dihitung laki-laki dewasa.

"Raesha sudah siuman, tapi sejak tadi dia nangis terus gak berhenti-berhenti," jawab Arisa dengan raut wajah cemas di balik cadarnya.

Yunan tertunduk sedih mendengarnya.

"Sa-yang, a-ku ma-u bi-ca-ra," kata Yunan pada istrinya.

Arisa mengangguk dan mendorong kursi roda Yunan ke arah ruang duduk yang kini nampak kosong melompong. Padahal biasanya ruangan ini selalu diisi oleh Dana, Erika dan anak-anak. Sementara Yoga biasanya hanya muncul di jam makan. Yang hobi nonton TV hanya Dana, Erika dan anak-anak. Ruang duduk yang kosong melompong di jam segini, adalah pertanda bahwa penghuni rumah sedang tidak baik-baik saja.

Arisa duduk di salah satu sofa. "Ada apa, sayang?" tanya Arisa.

"A-ku ma-u min-ta to-long. A-ku, Zhaf-ran, Mah-zar, ha-rus kem-ba-li ke tem-pat su-luk. Ta-pi a-ku kha-wa-tir de-ngan Rae-sha."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang