.
.
Ternyata, membaca dan memahami ilmu teks dari kitab, tidak menjamin seseorang bisa mengamalkan ilmu itu.
Pertanda bahwa amalan manusia sejatinya adalah murni pemberian Allah.
.
.
***
Arisa duduk di bangku taman. Ada taman bermain, tak jauh dari rumah Raesha. Setelah berbelanja sayur, Arisa sengaja melipir dulu ke taman itu. Dia hanya khawatir, jika dirinya menelepon Yunan di rumah Raesha, Raesha mungkin akan mendengar isi percakapannya dengan Yunan.
"Aku dan Raihan gak mungkin lama-lama di sini, sayang. Raihan tinggal sebulan lagi akan terbang ke Yaman. Dia ingin melamar Rayya sebelum berangkat," kata Arisa di tengah percakapannya dengan suaminya.
"I-ya. Aku pa-ham. Tapi, gimana Rae-sha? Siapa yang ja-ga dia? Apalagi ka-mu bilang, poli-si sudah gak jaga ru-mah Raesha la-gi. Aku su-dah suruh Raesha pekerja-kan orang untuk ja-ga rumahnya, tapi dia gak ma-u." Suara Yunan terdengar gelisah. Itu bukan kebiasaan Yunan, menampakkan kelemahannya. Dia hanya seperti ini, jika urusannya melibatkan Raesha.
"Aku ngerti kamu khawatir, tapi sayang, aku dan Raihan sudah dua bulan di sini. Kami gak mungkin di sini terlalu lama. Kamu ngerti, 'kan?" desak Arisa lagi. Arisa sebenarnya kasihan dengan Raesha, tapi apa mau dikata? Meski Ilyasa telah tiada, Raesha mau tidak mau harus mengarungi hidupnya kembali, tanpa Ilyasa. Mengurus kedua anaknya sambil mengatasi dukanya sendiri.
Yunan mendesah berat, di ujung sana. "Kheir. Bi-lang pada Raihan, kalian akan segera pulang. Kamu bicara dulu dengan Raesha."
"Oke. Nanti aku ngomong pelan-pelan sama Raesha. Gimana terapimu?"
"Alhamdulillah. Bicara-ku lebih lancar. Dan aku su-dah bi-sa jalan kaki. Subuh tadi, a-ku yang isi cera-mah di maje-lis"
"Alhamdulillah," sahut Arisa penuh syukur. Suaminya mulai pulih. Baru dua bulan padahal. Dokter waktu itu bilang, umumnya setahun baru sembuh. Yunan sudah mulai mengisi kajian pula. Ini adalah keajaiban yang harus disyukuri.
Tak lama, percakapan telepon itu berakhir dengan ucapan salam keduanya. Arisa bersiap kembali pulang ke rumah Raesha. Ia memastikan tak ada barang yang tertinggal. Belanjaan, ponsel, dompet. Ia berdiri dari bangku taman dan mendengar celetukan seorang anak kecil yang datang bersama ibunya.
"Bu, lihat! Orang itu seperti setan hitam!" tunjuk anak bocah laki-laki itu ke arah Arisa.
"Hus! Sembarangan, kamu! Itu orang beneran! Ayo minta maaf cepat!" tukas ibu berjilbab seleher itu, merasa malu dengan kelakuan putranya.
Arisa membungkuk sopan. "Gak apa-apa, Bu. Mari," ucap Arisa buru-buru pergi dari sana, sebelum menerima hinaan lainnya. Ia sudah terbiasa. Beginilah nasib wanita bercadar di negara yang masih jarang wanita bercadarnya. Beginilah kalau Arisa pergi sendirian keluar rumah tanpa ada yang menemani. Sang ibu itu akhirnya yang meminta maaf pada Arisa.
Begitu tiba di rumah Raesha, Raesha tumben-tumbenan pagi ini sudah mandi dan memakai daster lengan panjang serta jilbab sedada. Baju santainya jika Raesha hanya ingin di rumah dan tak ada rencana keluar,
"Kakak sudah pulang? Sini Kak belanjaannya. Biar aku aja yang masak hari ini!" kata Raesha ceria.
"Kamu yakin?" tanya Arisa ragu.
"Iya, Kak. Barusan aku sudah bikin sarapan roti bakar. Ayo Kak, makan," ajak Raesha.
Di meja makan, Raihan, Ismail dan Ishaq sedang makan bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...