329 - Hari Pertama

244 81 10
                                    

.

.

Ia merasa bersyukur, ada Elaine, di antara badai musibah beruntun ini.

.

.

***

Adli duduk di kursi kemudi, dengan tatapan menerawang ke depan kaca mobil. Ia memakai kacamata hitam, menyembunyikan mata sembapnya. Di samping Adli, Elaine diam-diam melirik memerhatikan. Kantung di bawah mata Adli, menandakan Adli bukan hanya banyak menangis di dua hari belakangan ini, melainkan juga kurang tidur. Dipikir Elaine, Adli tidak akan mengantar dirinya dan Haya ke madrasah. Sepanjang sarapan di ruang makan, Adli diam saja. Hanya Erika yang terkadang bicara, bertanya tentang sekolah. Tapi ternyata, saat Elaine bersiap di lobi pagi ini, Adli sudah siap dengan kunci mobil di genggamannya.

"Ayo berangkat," ajak Adli tanpa senyum sedikitpun. Raut wajah Adli terlihat agak tegang. Elaine mendengar dari Haya, katanya mulai hari ini hingga ke pengangkatan resmi Adli sebagai pengganti posisi C.E.O, suasana kantor akan sangat berbeda. Itu yang membuat Adli tak bisa tersenyum sama sekali.

"Haya," panggil Adli setelah sedari tadi hanya ada keheningan di dalam mobil.

Haya yang duduk di bangku belakang, menoleh ke arah cermin di atas kaca depan mobil. Ia menatap Adli melalui cermin itu.

"Ya, Kak?" sahut Haya.

"Kita akan perlu bicara. Tapi sayangnya, Kakak terpaksa lembur hari ini dan seterusnya. Mungkin selama setahunan ini, banyak dokumen yang harus Kakak pelajari di kantor. Kalau kamu sudah keburu tidur, kita bicara akhir minggu saja?"

Haya terdiam sesaat. "Kakak pulang ngantor jam berapa?" tanya Haya.

"Kakak usahakan jam sepuluh sudah di rumah."

"Oke. Aku jam sepuluh insyaallah masih bangun," kata Haya sambil mengangguk.

"Oke," sahut Adli singkat.

Elaine diam berpikir. Pembicaraan rahasia pastinya. Mungkin ada hubungannya dengan kematian almarhum Eyang Yoga, tebak Elaine. Sebab malam saat Eyang Yoga sekarat, Haya tidak ada di rumah sakit karena sedang menunggui Ismail dan Ishaq di rumah mereka, bersama Elaine juga. Elaine mendengar dari ibunya, bahwa malam itu Eyang Yoga meninggalkan wasiat pada anak-anak, istri, ayah dan bahkan ibunya yang mendadak muncul setelah empat puluh tahun lebih tanpa kabar.

Mobil menepi di gerbang madrasah. Haya turun lebih dulu. Elaine nyaris turun saat pintu depan terbuka, tapi ia memutar tubuhnya menghadap Adli.

"Om Adli."

"Ya?" Adli melepas kacamatanya.

"A-Aku ikut sedih. Eyang Yoga adalah orang baik, yang mencintai orang-orang saleh. Dan seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya. Insyaallah, Ayah Om Adli ada di tempat yang indah, yang diidam-idamkan oleh tiap ruh manusia. Jadi, aku harap Om tidak terlalu sedih lagi."

Mata keduanya bertemu. Adli sedang menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Dua hari ini, banyak sekali hal terjadi. Seandainya bisa, ingin rasanya Adli berbagi bebannya pada gadis di hadapannya ini. Namun saat Yoga sekarat, Elaine dan Adli terpisah. Elaine di rumah Raesha, sementara Adli di rumah sakit. Mata Elaine berair. Gadis itu menelan saliva susah payah, berusaha untuk tidak menangis yang ujung-ujungnya akan membuat Adli jadi ikut sedih.

"Semoga lancar sampai ke pelantikan resminya, dan seterusnya. Aku percaya, insyaallah Om Adli bisa menjaga amanah yang dititipkan almarhum Eyang Yoga."

Senyum Elaine setelah mengatakan kalimat penyemangat itu, membuat Adli harus memaksa dirinya untuk tidak nekat memeluk Elaine detik itu juga.

"Hati-hati di jalan. Selamat kerja, Om," imbuh Elaine dengan senyum sekali lagi. Kali ini Elaine bisa melihat binar senang bercampur haru di sorot mata Adli.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang