262 - Hilang

238 71 8
                                    

.

.

"Where is he??"

.

.

***

Jari telunjuk Ilyasa mengetuk-ngetuk setir mobilnya. Ia kembali mengecek penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangannya, lalu menghela napas untuk ke sekian kalinya dalam sepuluh menit terakhir. Pukul lima sore. Mestinya acara maulid sudah selesai.

Mobil Ilyasa masih terparkir di depan majelis zikir yang berjarak tempuh setengah jam dari madrasahnya. Tadinya mau turun saja dan menengok ke dalam, tapi Ilyasa merasa segan. Raesha bilang, acara maulid ini sebenarnya untuk jama'ah ibu-ibu, tapi ceramah bukan hanya diisi oleh ustadzah, tapi juga oleh ustaz.

Wajah Ilyasa masam. Sejujurnya, dia tidak begitu suka dengan undangan maulid ini. Jadi, ceritanya, selepas kasus viralnya video mengajar Raesha gegara ulah dua orang ustaz di madrasah milik Ilyasa, Raesha mendapat beberapa undangan ceramah. Awalnya ceramahnya untuk anak-anak, tapi lama kelamaan, datang undangan ceramah untuk jama'ah ibu-ibu, atau wanita dewasa.

"Gimana ini, sayang?" tanya Raesha galau saat itu. Saat undangan pertama datang.

Ketika dicek, undangan saat itu berlokasi di sebuah masjid dekat TK Islam. Di sana bukan hanya ada ustadzah, tapi juga para ustaz.

"Kamunya gimana? Mau gak ngisi ceramah di sana?" tanya Ilyasa balik.

Raesha mengangguk malu-malu. "Mau," jawabnya.

"Ya udah. Nanti aku antar jemput," putus Ilyasa, setelah memastikan jadwal ceramah itu tidak bentrok dengan jadwal mengajar di madrasah dan jadwal syuting di akhir pekan.

Pertamanya, baru ada satu-dua undangan, tapi lama-lama kok ...

Ilyasa melirik jam tangannya sekali lagi. Molor dari jadwal, seperti biasa. Kadang panitia menyediakan hidangan makanan yang heboh untuk disantap bersama para ustadzah dan ustaz. Belum lagi, tak jarang ada jama'ah yang curhat masalah pribadinya pada ustadzah penceramah, selepas acara berlangsung.

Ilyasa mendengkus kesal sambil melipat tangan. Dua orang ibu-ibu mengenakan gamis dan jilbab syar'i, melirik ke arah Ilyasa sambil saling berbisik.

"Itu suaminya Ustadzah Raesha, 'kan? Oppa Ilyasa yang suka ada di TV itu?"

"Iya bener, Jeung!"

"Masyaallah ganteng banget."

Kedua ibu-ibu itu kini cekikikan sambil menunduk salah tingkah dan istigfar.

Ilyasa menutup muka, sebelum kesabarannya habis dan akhirnya turun dari mobil. Ia berjalan memasuki pekarangan majelis, lalu langkahnya terhenti di balik dinding yang membatasi area teras. Nama istrinya disebut-sebut oleh suara seorang pria. Ternyata ada sekelompok lelaki di sana tengah makan nasi kotak bersama, lesehan di lantai teras.

"Ustadzah Raesha cantik pol, ya? Aslinya malah lebih cantik dari video yang viral waktu itu."

"Iya, Ustaz. Panitia pinter banget milih ustadzahnya. Enak dipandang mata. Suaranya juga indah banget. Serasa di surga, saya."

Mereka tertawa.

"Jangan gitu. Nanti suaminya marah, lho, kalo denger omongan pak ustaz."

"Ya 'kan suaminya gak denger. Makanya komentar. Kalo suaminya denger, mana berani saya komentar." Tawa mereka kembali berderai.

"Suaminya itu, Oppa Ilyasa yang suka muncul di siaran dakwah langsung di akhir Minggu itu bukan sih?"

"Iya, Ustaz. Suaminya galak, lho. Waktu itu dua orang ustaz yang diduga nyebarin video singkat Ustadzah Raesha, langsung dipecat tanpa surat peringatan."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang