.
.
"I heard, music is prohibited in Islam. Is that true?"
.
.
***
Bangunan tujuh lantai berlanggam modern dengan frame-frame kaca reflektif, berdiri megah, disinari cahaya mentari musim panas di Geneva, Swiss dengan temperatur sedikit di atas dua puluh derajat celcius. Tetap lebih dingin dibanding Jakarta, tentu saja.
Papan kecil bertuliskan 'Geneva Room', terpampang di luar pintu salah satu ruang pertemuan.
"Threatening letter??" (surat ancaman)
Jeritan salah seorang panitia acara itu, sudah diantisipasi oleh Yunan yang duduk tepat di depannya. Yunan sengaja bicara empat mata di ruang persiapan, dengan penanggung jawab acara hari ini, seorang pemuda berdarah Turki yang keluarganya sudah menetap di Geneva sejak tahun 2013. Pemuda yang usianya belum menjejaki kepala tiga itu, tak dapat menutupi keterkejutannya.
"Anonymous?" tanya pemuda itu lagi.
"Yes," jawab Yunan sambil melipat tangan.
Surat ancaman itu sudah berpindah ke tangan Ayaz, nama pemuda gagah berjanggut dan berkumis tipis itu.
"W-Why didn't you tell us before, Syeikh? We could report this to police! I'm sure they will help secure our event today!" ucap Ayaz yang agaknya tak habis pikir melihat ketenangan Yunan.
"That's exactly what I don't expected. It's not a good thing to make our guess feels uncomfortable with excessive security," putus Yunan tanpa keraguan.
Ayaz menggeleng. Bingung harus berkomentar apa.
"Don't worry. Just do what we had planned. We still try our best to prepare some guards. I also bring with me three person. One men inside the meeting room, one men outside entrance, and the other one guards in parking area."
Penjelasan itu membuat Ayaz nampak lebih tenang, menyadari bahwa Yunan juga sebenarnya melakukan ikhtiar untuk berjaga-jaga.
"Okay then. I'll set up few men inside and outside meeting room, just in case," kata Ayaz dengan pancaran wajah serius.
"Sounds good. Okay. Bismillah. No worries. Allah will take care of us," ucap Yunan menepuk bahu Ayaz sambil tersenyum.
Ayaz mengangguk, namun kemudian kembali geleng-geleng kepala. Padahal yang khawatir mestinya adalah Yunan sendiri, sebab ancaman pembunuhan itu dialamatkan pada Yunan. Malah Yunan yang menenangkan orang lain.
.
.
Mahzar duduk di baris terdepan yang terdekat dengan panggung. Sinar matahari menerangi ruang pertemuan dengan dinding berlapis kayu itu. Jendela kaca sangat tinggi, setinggi langit-langit ruangan yang nyaris mencapai enam meter.
Ruangan berkapasitas dua ratus orang itu, kini terisi dua per tiganya.
"Gimana keadaan di dalam?"
Suara Henry terdengar dari speaker earphone di telinga Mahzar.
"Ruangan sudah ramai. Sebentar lagi acaranya mulai. Dahlan, apa peserta meeting masih berdatangan? Apa ada orang yang mencurigakan?" Mahzar balik bertanya dengan suara berbisik ke mic-nya yang berukuran mini.
"Masih, Kak, tapi sejauh ini belum ada yang mencurigakan," sahut Dahlan yang berjaga di luar area entrance gedung.
"Area parkir aman?" tanya Mahzar pada Henry.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...