.
.
"Kamu cantik banget soalnya. Jadi cobaan buat ustaz-ustaz di sini."
.
.
***
Yoga bersalaman dengan Yunan dan Zhafran, pamit pulang kembali ke Jakarta.
"Syukran sudah diizinkan menginap di sini, Ustaz," ucap Yoga pada Zhafran. Kalau pada Yunan, sewajarnya menerima Yoga dan Adli yang memang saudara meski tak sedarah. Tapi terhadap Zhafran dan keluarganya, mereka tentu merasa lebih segan karena bukan saudara. Sedikit banyak, Zhafran turut direpotkan dengan kehadiran mereka, walaupun pria itu sama sekali tak terlihat terusik.
"Afwan. Dengan senang hati. Tempat ini selalu terbuka untuk Pak Yoga sekeluarga," kata Zhafran tersenyum. Pagi ini selepas syuruq, Zhafran masih mengenakan baju koko dan sarung yang dikenakannya sejak sebelum kajian Subuh tadi di masjid.
Yoga menoleh ke arah tepi kolam. Di sana terpantau Adli sedang bicara berdua dengan Elaine. Lagi ngapain bocah? batinnya. Semoga Adli tidak melancarkan gombalan-gombalannya pada keponakannya yang masih bocah. Namun saat dilihatnya Adli menyerahkan sesuatu yang ditebak Yoga adalah uang kertas yang dilipat, Yoga tersenyum.
"Om pulang dulu, Elaine. Ini ada sedikit uang jajan buat Elaine, Raihan dan Rayya," ucap Adli sambil menyerahkan sesuatu di tangannya.
"Syukran, Om Adli," kata Elaine sambil malu-malu menerima pemberian Adli.
Sesuatu bergejolak dalam diri Adli, tiap melihat reaksi malu-malu dari Elaine. Semoga ini bukan pertanda dirinya pedofil. Adli merapal istighfar dengan lintasan pikiran ajaib itu. Adli sejak awal sadar kalau Kak Yunan bukanlah kakak kandungnya. Dan itu berarti, keluarga Kak Yunan jelas bukan mahramnya. Jadi jangan salahkan dia kalau mentargetkan Elaine sebagai calon kekasihnya di masa depan. Siapa suruh Elaine imut dan gemesin kayak gitu? Mana tahu dirinya dan Elaine kelak cocok dan berlanjut ke pelaminan ye 'kan? Tapi itu kejauhan, sih. Adli Pratama dan pernikahan, adalah dua kata yang terpaut jarak jauh bagai bumi dan bulan.
"Adli, ayo!" teriak Yoga dari kejauhan.
"Iya, Ayah!" sahut Adli. Ganggu aja Ayahnya, batinnya.
"Om harus pergi sekarang. Jangan lupa, minta pada Ummi dan Abimu untuk pindah sekolah ke madrasahnya Om Ilyasa," pesan terakhir Adli sebelum mengedipkan mata.
"I-Iya, Om," jawab Elaine gugup. Baru kali ini ada laki-laki yang kedip mata padanya. Ternyata malah Omnya sendiri.
Yoga berkacak pinggang. Dia melihat tingkah genit putranya meski dari jauh. "Adli!" ulang Yoga.
"Iya iya, Ayah!" sahut Adli malas-malasan.
"Assalamu'alaikum, Dek Elaine cantik," pamit Adli dengan senyum lebar.
"Wa'alaikumussalam, Om Adli," Elaine menjawab salam dengan senyum malu-malu.
Hiih! Gemess!! Aku gemeess!! jerit Adli dalam hati. Begitu Adli sudah dekat dengan Yoga, Yoga spontan menjewer telinga Adli.
"Aduduh! Ayah! Aku salah apa??" protes Adli kesakitan.
"Bocah bengal!" omel Yoga.
Yunan dan Zhafran tertawa melihat interaksi ayah dan anak itu. Yoga dan Adli kembali ke Jakarta, menyimpan kenangan akan indahnya puncak bukit suluk, dan damainya suasana ziarah di makam Syeikh Abdullah. Sesuatu yang tertanam kuat di hati seorang Adli Pratama.
.
.
Ilyasa duduk bersila di pinggir kelas khusus mengaji anak-anak usia pre school dan ibtidaiyah.
Mendampingi istrinya yang sedang mengajar. Di antara anak-anak bocah itu, ada kedua anak mereka, Ismail Ahn dan Ishaq Ahn. Ishaq hanya berjarak dua tahun dari kelahiran Ismail. Ismail saat ini berusia enam tahun, sementara Ishaq empat tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
EspiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...