314 - Wasiat

283 92 40
                                    

.

.

Bersikaplah di tengah-tengah.

Jangan angkuh, jangan sombong, tapi juga jangan merendahkan marwah dirimu.

Sebagaimana dirimu punya kekurangan, kamu juga punya kelebihan.

.

.

***

Dana berdiri agak menjauh dari anggota keluarga Danadyaksa yang sedang menunggui Yoga di ruang ICU. Sejak tadi, Yoga bergiliran meminta orang-orang untuk mendatanginya di ruangannya. Notaris dan satu orang direksi perusahaan, baru saja keluar dari ruang ICU setelah bicara dengan Yoga. Durasi paling lama adalah saat Yoga bersama dengan notaris itu, sampai lebih dari satu jam. Dan sekarang, ada satu orang lagi dari direksi Danadyaksa Corp., seorang pria bernama Andi yang masih bicara dengan Yoga di ruang ICU.

"Selamat malam," sapa Dana saat menelepon seseorang melalui ponselnya.

Lawan bicara Dana adalah seorang pria tua, lebih muda sedikit dari Dana. Adiknya. Bukan adik kandung, tapi. Adik seseorang dari masa lalunya.

"Selamat malam. Maaf dengan siapa ini?"

Dana paham, menelepon seseorang di waktu semalam ini, bukanlah adab yang baik.

"Maaf malam-malam begini telepon. Saya ... Dana. Masih ingat?"

Hening untuk beberapa saat.

"Mas Dana?" tanya pria itu di ujung sambungan, terdengar tidak yakin.

"Ya. Maaf lama tidak mengabari. Ada yang mendesak. Ini tentang Yoga. Yoga ... sedang sekarat saat ini. Dia kena stroke," ucap Dana, susah payah berusaha menahan isak tangis.

"Yoga kena stroke?"

"Ya. Dokter bilang, Yoga tidak akan bertahan lama. Aku mau minta tolong padamu. Apa 'dia' ada di sana?"

Hening kembali menyergap keduanya.

"Ada. Ada, Mas. Mas mau bicara dengannya?"

"Tidak perlu. Katakan saja padanya, kalau dia masih perduli pada Yoga, datang ke rumah sakit malam ini juga. Kami tidak yakin Yoga akan bertahan sampai besok." Kali ini Dana menangis. Lawan bicaranya berusaha menghibur Dana.

"Baik, Mas. Kasih saja saya nama rumah sakit dan ruangannya. Saya akan sampaikan padanya."

Beberapa saat kemudian, percakapan itu berakhir. Dana masih berdiri menangis di sana, berusaha menyeka air matanya dengan tangan yang sudah berkeriput. Ia melihat pantulan wajahnya di kaca ruangan rumah sakit.

Allah sungguh punya cara yang dramatis untuk membuat orang berhenti sejenak memikirkan hidup. Padahal jika dilihat secara kasat mata, lebih masuk diakal jika dirinya yang mati lebih dulu. Bukan putranya. Putra semata wayangnya. Kesayangannya. Satu-satunya alasan yang membuat Dana melanjutkan hidup, selepas Claire meninggalkannya. Dana merasa dicampakkan Claire saat itu.

Meski malam itu pertengkaran mereka ditutup dengan tamparan di pipi Claire, Dana sungguh tidak menyangka jika Claire akan tega meninggalkan dirinya dan sekaligus Yoga, putra kandungnya. Dana merasa bersalah pada Yoga, yang kehilangan ibunya karena perbuatannya. Dan Dana tahu, dulu Yoga sempat membencinya karena itu. Tapi seiring berjalannya waktu, Yoga bisa menerima kenyataan pahit itu, bahwa dia adalah anak yang ditinggal pergi oleh ibu kandungnya sendiri. Selama lebih dari empat puluh tahun setelahnya, tak pernah sekalipun Claire berkirim kabar. Yang mereka tahu hanyalah, Claire menikah dengan seorang pria berkebangsaan Brazil, selepas bercerai dari Dana.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang