372 - Back to Normal

211 57 11
                                    

.

.

"Kami sangat berharap Ustadzah Raesha memutuskan untuk kembali mengisi acara dakwah di TV kami. Seperti dulu."

.

.

***

Mobil sedan hitam mewah berhenti tepat di depan pagar rumah Raesha. Raesha turun dan membuka gembok pagar dan pintu depan rumah. Ismail dan Ishaq ikut turun menyusul ibunya.

Supir keluarga Danadyaksa membuka bagasi belakang dan menurunkan dua koper.

"Taruh di ruang tamu aja, Pak," kata Erika pada supirnya.

"Baik, Nyonya," sahut sang supir sebelum menggeret dua koper ke ruang tamu.

Tadi di bandara Soetta, rombongan mereka dijemput oleh dua mobil sedan. Satu mobil untuk mengantar ke rumah keluarga Danadyaksa, dan satu lagi untuk mengantar ke rumah Raesha. Selepas supir kembali ke kediaman keluarga Danadyaksa, Raesha dan Erika melepas jilbab dan rebahan di sofa ruang tengah. Sementara duo I menyalakan AC di kamar dan mendinginkan diri di sana.

"Capek, ya. Padahal ke mana-mana dianter. Makan gak perlu masak, udah tinggal makan. Makanan enak-enak pula. Tetep capek kalo habis dari luar kota tuh," gumam Erika sambil menatap kipas angin yang berputar di langit-langit ruangan.

"Iya, Bu. Apalagi kalo naik angkutan umum, ya," sahut Raesha.

"Iya. Gak kebayang," ucap Erika sambil memejamkan mata, berusaha fokus pada kesegaran angin buatan yang bertiup.

Raesha menyipitkan mata saat menoleh ke arah dua buah koper yang berada tak jauh darinya. 

"Pengin un-packing tapi kok males, ya?" kata Raesha dengan suara lesu.

"Duh ntar aja, deh. Ngelurusin kaki sama punggung dulu. Lagian, kerjaan yang berat-berat biar Ibu aja. Kamu gak usah ngapa-ngapain. Ntar kalo kandunganmu kenapa-kenapa, Ibu diomelin Yunan. Ha ha!" Erika tertawa lantang, membuat muka Raesha terasa panas saking malunya.

"Ibu! Jangan ngomong gitu!" omel Raesha.

"Ah santai aja. Sekarang 'kan gak ada Arisa sama Raihan di sini," kata Erika sembari kipas-kipas dengan brosur yang ditemukannya di meja. Angin dari kipas di langit-langit, kurang nendang bagi Erika ternyata, maka perlu disokong dengan kipasan kertas brosur.

"Yunan jelas banget masih cinta sama kamu, Rae. Gimana itu? Kakakmu yang ajaib itu," Erika mengatakannya dengan ekspresi datar, masih sambil kipas-kipas.

"Bukan gitu kali, Bu. Kak Yunan cuman anggap aku kayak anaknya," kilah Raesha.

Erika tersenyum menyeringai ke arah putrinya. "Halah. Mana ada laki-laki dewasa memperlakukan yang dianggap anaknya kayak gitu? Itu sih jelas-jelas cinta. Cinta mati, malah!"

Raesha menutup mukanya dengan kedua tangan. Teringat surat yang ditinggalkan Ilyasa. Ada pernyataan cinta Yunan di sana, yang diakui Yunan pada Ilyasa saat mereka terlibat insiden lift waktu itu. Tubuh Raesha merinding jika mengingat yang dikatakan Yunan pada Ilyasa waktu itu.

"Kamu juga, 'kan, Rae? Kamu juga masih cinta sama dia, 'kan?" tanya Erika. Momen rebahan ini menjadi sesi curhat antara wanita.

Raesha menurunkan tangannya. Rona di wajahnya belum hilang. "Menurut Ibu gimana?" jawaban mengambang dari Raesha, membuat Erika menghela napas berat.

"Ini semua gara-gara Ibu," ucap Erika dengan nada penyesalan.

"Oh sudahlah, Bu. Itu bukan salah Ibu. Memang seperti ini jalan ceritanya. Mau gimana lagi? Aku cuma berharap, kami berdua bisa sama-sama menjaga diri, supaya -- bisa menjaga perasaan semua orang, terutama Kak Arisa dan keluarganya."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang