.
.
Sebab hanya cinta yang tulus, yang tak tergerus waktu.
.
.
***
"Aku mau nginep di sini aja!" rengek Elaine.
"Jangan, sayang. Kamu pulang aja ke rumah Eyang Yoga, ya. Kamu lihat sendiri. Di sini sofa panjang cuma ada dua. Ada ruangan besar untuk keluarga pasien, tapi gak ada kasur di sana. Dan lagi, kamu perempuan. Gak ada tirai juga. Ummi gak mau kamu tidur di ruangan itu," kata Arisa sambil membelai kepala putrinya.
"Ummi biar aku yang jagain. Kamu nurut aja, Elaine. Pulang ke rumah Eyang Yoga," tegas Raihan, setuju dengan keputusan Ummi-nya.
"Maaf aku gak bisa menginap di sini. Besok harus ke kantor," Adli mengatakannya pada Arisa, dengan ekspresi bersalah di wajahnya.
"Iya, Adli. Kakak ngerti. Kakak titip Elaine, ya. Tolong antar Elaine pulang," pinta Arisa.
"Beres, Kak. Ayo, Elaine," ucap Adli dengan senyum simpul. Tidak perlu disuruh, dia dengan senang hati akan mengantar jemput Elaine ke mana saja.
Elaine terpaksa menyetujui keputusan Ummi dan Kakaknya. Mencangklong tasnya, bersiap pulang ke kediaman Danadyaksa.
"Besok kamu sekolah kayak biasa, ya. Jangan pikirkan apa-apa. Nanti kalau ada yang mendesak, Ummi pasti akan ngabarin kamu," kata Arisa menepuk bahu Elaine.
"Trus nanti aku ke rumah sakitnya gimana?? Aku naik angkot aja, ya, Ummi! Atau naik taksi!" kilah Elaine yang merasa berat jika esok dirinya terpaksa tidak bisa menjenguk Abinya di rumah sakit.
"Biar nanti kujemput ke madrasah, aku drop di rumah sakit. Trus aku balik ke kantor. Pulang dari kantor, nanti aku jemput lagi ke rumah sakit," kata Adli.
"Kamu yakin, Adli? Apa gak merepotkan? Nanti kamu capek," Arisa terdengar cemas dengan rencana Adli yang dalam bayangannya akan menghabiskan banyak energi.
"Gak masalah insyaallah, Kak," jawab Adli yakin.
Elaine tertunduk. Merasa bersalah, tapi sejujurnya dia senang kalau Adli rela serepot itu demi dirinya.
Sementara Yoga sedang merajuk pada istrinya. "Aku mau nginep di sini. Boleh ya, sayang?"
Erika memelototi suaminya. "Jangan cari penyakit! Kakek-kakek kayak kamu, nanti kamu masuk angin!"
"Kamu lebih kakek-kakek dari Ayah," ceplos Dana.
"Denger, tuh!" timpal Erika.
"Tapi nanti kalo ada apa-apa gimana??" Yoga masih berusaha.
"Arisa akan ngabarin kita. Nanti kita tinggal ke sini lagi aja," putus Erika. Dia harus tegas dengan Kakek-kakek bernama Yoga Pratama ini.
Di koridor, Raesha yang merengek pada suaminya. "Sayang, aku boleh nginep di sini ya?"
"Gak boleh. Kamu gak kasihan sama Haya? Dia masih di rumah kita, jagain Ismail sama Ishaq. Padahal besok Haya harus sekolah."
Raesha menghela napas dengan tampang lesu. Ah iya. Benar juga, batinnya. Dia tetap harus mengurusi anak-anak. Untungnya Ismail dan Ishaq bukan anak-anak yang rewel. Ditinggal dua hari, satu komplain dari Haya pun tak terdengar. Anak-anak itu penurut dan tidak banyak maunya. Makanan pun tidak pilah-pilih.
"Kak Raesha, bareng aku aja, Kak. Nanti aku ke rumah Kakak dulu. Sekalian jemput Haya," Adli menawarkan diri.
"Alhamdulillah. Titip Raesha ya, Adli," ucap Ilyasa terdengar lega. Baru saja dia berpikir harus mengantar istrinya pulang dulu ke rumah, lalu baru bisa kembali lagi ke rumah sakit. Baru dibayangkan saja, pundaknya serasa pegal-pegal. Belum lagi kalau macet di jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...