305 - Segelas Jeruk

247 78 21
                                    

.

.

"Kamu kelihatan cute, Oppa!"

"Jangan bilang aku cute!" 

"Kamu makin cute kalau protes!"

.

.

***

Tiga hari berselang ...

Ilyasa duduk bersila di sepertiga malam. Berzikir dengan tasbihnya. Bibirnya bergerak-gerak.

"Laa hawla wa laa quwwata illaa billahil'aliyyil'azhiim ... Laa hawla wa laa quwwata illaa billahil'aliyyil'azhiim ... Laa hawla wa laa quwwata illaa billahil'aliyyil'azhiim"

(Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)

Perlahan Raesha yang masih tidur di ranjang, terbuka matanya. Menyadari suaminya masih zikir, entah dari jam berapa. Padahal tadi Raesha tidur lebih dulu.

Raesha melangkah ke kamar mandi dan mengambil wudu'. Salat di belakang suaminya. Setelah empat raka'at, matanya sulit diajak bekerja sama. Ia mengantuk lagi. Tidak tahan, Raesha memutuskan untuk tidur lagi saja. Sepulang dari rumah sakit waktu itu, badan rasanya remuk redam. Belum pulih total juga, sehingga Raesha memutuskan menghentikan sementara acara dakwahnya di televisi, yang menurutnya cukup memakan waktu. Ia kini hanya mengajar di madrasah, mengurus rumah dan anak-anak. Nanti kalau tenaganya sudah terkumpul untuk dakwah di televisi, dia akan melanjutkannya lagi. Para ibu-ibu muda yang menggemari acara Raesha, banyak yang bertanya pada pihak manajemen acara, 'kenapa acara Ustadzah Raesha tidak muncul lagi di TV?' Namun manajer hanya menjawab, 'Afwan, dikarenakan kesibukan keluarga Ustadzah Raesha, acara dakwah beliau sementara ini ditiadakan hingga waktu yang belum dapat ditentukan.'

Raesha perlahan menepuk punggung suaminya. Ilyasa menoleh ke belakang.

"Sayang, kamu gak tidur? Apa gak capek? Kayaknya kamu baru tidur sebentar," tanya Raesha.

"Tanggung. Mau nunggu Subuh aja, sebelum nanti aku ke masjid," jawab Ilyasa.

"Kamu salat jama'ah Subuh di masjid?" tanya Raesha lagi.

"Iya. Nanti kamu salat bareng anak-anak aja," jawab Ilyasa tersenyum.

Tumben, batin Raesha. Biasanya Ilyasa hanya salat jama'ah di masjid saat Maghrib dan Isya saja. Tahu kalau semestinya memang salat jama'ah di masjid, tapi kadang malah memilih salat bareng istri dan anak-anak di rumah.

"Ya udah. Nanti bangunin aku kalau kamu mau berangkat ke masjid. Biar aku kunci pintu depan," pinta Raesha.

"Iya, sayang."

Raesha melipat sajadah, mukena dan menyimpan tasbihnya, sebelum kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.

Tak lama, Ilyasa meletakkan tasbihnya dan memerhatikan istrinya yang kini sudah melayang ke alam mimpi. Ia berdiri dari duduk bersilanya, lalu mencari kertas dan mulai menulis. Sesekali matanya tergenang air mata, tapi ia menahannya lantaran tak ingin istrinya nanti melihat matanya seperti habis menangis.

Secarik kertas itu dilipatnya dan ditaruh di bawah bantal. Ilyasa kembali duduk di sajadah dan membaca amalan sebelum Subuh. Setelah salat Subuh jama'ah bersama Zhafran di musholla rumah sakit selama nyaris seminggu waktu itu, Ilyasa jadi ingin merasakan lagi jama'ah Subuh. Kangen. Ada yang istimewa dari jama'ah Subuh di masjid. Maka dia ingin menyambung tali kebiasaan orang-orang sholihin itu.

Saat Subuh tiba, Raesha mengantar kepergian suaminya ke masjid, lalu kembali masuk ke rumah dan mengunci pintu. Baru saja akan membangunkan anak-anak, notifikasi chat dari ponsel Raesha berbunyi. Raesha mengecek ponselnya di kamar.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang