328 - Duka

231 84 15
                                    

.

.

"Sebentar lagi hujannya berhenti, insyaallah."

.

.

***

"Tuan Adli, ada tamu dari Padang."

Adli yang sedang menyuapi Dana, terdiam mendengarnya. Tamu dari Padang?

"Siapa?" tanya Adli.

"Ustaz Umar."

Adli selama ini mendengar tentang Ustaz Umar dari Ayahnya. Saat ke tempat suluk, Ustaz Umar tidak ada di sana, karena dalam kesehariannya, Ustaz Umar tinggal di Padang. Tepatnya di rumah mungil dekat pesantren di Padang yang diwariskan pada beliau dari almarhum Syeikh Abdullah.

"Oh. Oke. Sebentar lagi saya ke ruang tamu. Suguhi beliau dengan minuman hangat dan kue. Tawari makan siang sekalian. Siapkan kamar untuk Ustaz Umar menginap." Ustaz Umar pasti lelah, jauh-jauh takziyah dari Padang.

"Baik, Tuan," sahut pelayan laki-laki itu, seraya membungkuk sopan sebelum pamit pergi.

Adli buru-buru menyelesaikan tugasnya menyuapi Dana, sebelum ia menyambut kedatangan Ustaz Umar.

Umar berdiri saat melihat Adli datang. Tuan rumah baru di kediaman keluarga Danadyaksa.

Adli terkesan melihat Ustaz Umar masih bertubuh bugar dan tegap, meski usianya sudah kepala enam, dan rambutnya sebagian sudah beruban.

"Turut berduka, Adli," ucap Umar sambil memeluk Adli erat. Pelukan yang nyaris membuat air mata Adli keluar.

"Terima kasih, Ustaz," sahut Adli tersenyum hangat. Adli mencium tangan Umar.

Yunan, Zhafran dan Mahzar ada di sana juga. Lebih dulu menyambut kedatangan Umar.

"Afwan, saya datang terlambat. Sudah berangkat di penerbangan pagi, tapi di jalan tadi sempat macet karena genangan air," kata Umar dengan raut wajah penyesalan.

"Tidak apa-apa, Ustaz. Kami maklum. Kami merasa terharu, Ustaz datang jauh-jauh dari Padang."

"Sudah sepantasnya saya datang. Bagi saya, Yoga bukan jama'ah biasa. Dia ... kesayangannya Syeikh Abdullah." Umar menitikkan air mata, saat mengucapkannya. Terbayang masa suluk Yoga Pratama. Banyak sekali kenangan bersama Yoga. Tak disangka, Yoga wafat lebih dulu darinya.

Adli mengangguk tersenyum. Matanya masih bengap. "Ustaz sudah ke kuburan?" tanya Adli.

Umar menggeleng. "Belum. Katanya, lokasinya dekat dari sini?"

"Dekat sekali, Ustaz. Jalan kaki juga bisa. Mau saya antar?" jawab Adli menawarkan bantuan.

"Biar nanti saya yang akan antar Ustaz Umar," kata Zhafran.

"Tapi masih hujan. Nanti saja kalau hujannya berhenti," respon Adli sembari melongok ke luar jendela.

"Sebentar lagi hujannya berhenti, insyaallah," kata Zhafran sambil menyesap teh hangat.

Hoo ... peramal cuaca juga, batin Mahzar seraya menaikkan sebelah alisnya. Tak sampai semenit kemudian, hujan benar-benar berhenti.

.

.

Umar menyentuh batu nisan bertuliskan nama Yoga Pratama Danadyaksa di sana. Yoga sudah sejak lama menyiapkan tanah kuburan ini untuk dirinya dan keluarganya, katanya. Bahkan kain kafannya sendiri, Yoga sudah siapkan. Meremang bulu kuduk Umar mendengarnya. Yoga memang bukan ustaz, bukan ulama, tapi pada kedalaman spiritual tertentu, Umar merasa Yoga punya hubungan batin yang kuat dengan Syeikh Abdullah. Tentu Syeikh Abdullah punya alasan, mengapa Yoga jadi anak kesayangannya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang