.
.
"Selama seseorang secara aktif mencari kebenaran, dan mati dalam keadaan itu tanpa menyangkal kebenaran, maka mereka akan selamat."
~ Imam Al Ghazali r.a (disampaikan melalui Syeikh Hamza Yusuf)
.
.
***
"Lihat, Raihan! Itu menara Eiffel!" tunjuk Arisa di balkon hotel.
"Waah! Tinggi sekali! Apa kita bisa naik ke atas, Ummi?" tanya Raihan.
"Sekalipun bisa, Ummi gak mau, lah. Serem," sahut Arisa yang membuka cadarnya. Mereka berada di ketinggian puluhan lantai, di suite mewah hotel bintang lima. Tak ada orang yang bisa melihat mereka.
Dari dalam kamar, Yunan tersenyum melihat istri dan anaknya yang sedang menikmati pemandangan. Untungnya Arisa tidak tahu, apa yang dirasanya waktu itu sambil menatap menara Eiffel secara langsung untuk pertama kalinya. Hatinya saat itu tengah hancur berkeping-keping memikirkan Raesha yang sedang bermalam pertama dengan suaminya. Sekarang Yunan sudah lebih bisa menerima kenyataan itu. Allah menolongnya, menghiburnya melalui semua kejadian dan pemberian-Nya di sekelilingnya. Ada Arisa dan Raihan yang mencintainya. Meski sekalipun ia terpisah secara fisik dengan Raesha, Yunan tetaplah kakak angkat Raesha, siapapun yang menjadi suami Raesha. Jadi sebenarnya, dia tidak kehilangan Raesha, dan Raesha tidak kehilangan dia. Mereka hanya terpisah karena keadaan. Seandainya tidak ada insiden makhluk kegelapan itu, mungkin mereka setidaknya masih berinteraksi di kediaman Danadyaksa.
"Kamu mau berangkat sekarang?" tanya Arisa pada suaminya.
"Iya. Diantar Mahzar ke pertemuan. Kamu tunggu di sini, ya. Belanjanya nanti aja setelah aku selesai dari sana."
Arisa berkerut keningnya. "Kok kamu gak pakai gamis dan sorban?" tanya wanita itu heran.
"Enggak. Aku tidak ingin mereka merasa sedang diceramahi. Mereka bukan ulama, bukan orang majelis, dan bukan juga orang pengajian," jawab Yunan merapikan ujung jaketnya. Dia hanya mengenakan dalaman kemeja dan celana panjang hitam, plus jaket berwarna ivory. Rambutnya terekspos tanpa peci.
"Oke. Hati-hati, sayang," kata Arisa.
"Makannya nanti aja tunggu aku pulang. Kita nanti keluar cari restoran halal," kata Yunan.
"Iya, sayang. Semoga Allah kasih kemudahan untuk dakwahnya," Arisa memeluk suaminya, sambil mengucapkan itu, membuat Yunan tersenyum dengan tatapan hangat.
"Cium, dong," tunjuk Yunan ke bibirnya.
Dengan lirikan malu, Arisa mengecup bibir suaminya.
"Abi sama Ummi ciuman," komentar Raihan, membuat keduanya malu kepergok.
"Wudu'ku batal. Wudu' dulu," kata Yunan kabur ke kamar mandi.
Arisa tertunduk malu. Tumben-tumbenan suaminya minta dicium. Biasanya dia yang musti lebih agresif. Dari dulu begitu. Yunan kalau tidak dikejar duluan, mungkin dulu hanya mengurung diri di rumah lamanya. Zikir, salat, tilawatil qur'an, membaca kitab. Keluar rumah hanya seperlunya, bergaul seperlunya. Arisa yang dulu nyaris tiap hari menyambangi rumah Yunan saat mereka masih kecil. Membawakan kue, lah. Pinjam buku, lah. Apa saja asal bisa jadi alasan untuk mengobrol dengan Yunan. Sekarang di usia pernikahan mereka yang ke-enam, untuk pertama kalinya Yunan minta cium pada Arisa. Sejarah banget ini.
.
.
Dua bangunan kembar enam lantai berlanggam arsitektur post-modern dengan fasad berlapis bilah-bilah kayu horisontal di bagian luarnya, berdiri menjulang di tepi kanal de la villette. Kapal-kapal kecil berlabuh di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualitéRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...