281 - Ballroom

212 58 5
                                    

.

.

"Manusia terbaik, bukan dilihat dari status pendidikannya, tapi sebesar apa dia memberi manfaat bagi umat."

.

.

***

Raesha dipersilakan memasuki ruangan ballroom. Ada beberapa pintu yang tersedia. Raesha masuk melalui salah satu pintu kayu yang dibingkai dengan panel motif walnut gelap. Cahaya lampu kekuningan, menerangi ruangan yang langit-langitnya sangat tinggi itu. Permainan level ketinggian plafon, binar cahaya lampu-lampu downlight, garis-garis panel krem pada dinding, mempercantik interior ruangan yang bergaya modern namun tetap terasa nuansa old-nya.

Barisan meja-meja minimalis memanjang berwarna hitam, berpadu dengan kursi bergaya semi klasik berwarna emas. Di tiap-tiap kursi, pada mejanya terdapat selembar kertas untuk menulis, sebuah pulpen dan segelas air putih tertutup gelas dari kertas.

"Raeshaa!!" panggil seorang wanita yang cadarnya telah dibuka.

Raesha tersenyum saat melihat Arisa yang memanggilnya. Raesha membalas lambaian tangan Arisa dan duduk di sampingnya.

"Aaaa!! Senangnyaa ada temen!" jerit Arisa tertahan, sambil menggenggam tangan Raesha.

Raesha tersenyum lebar, sembari membalas genggaman tangan Arisa. Kak Arisa lucu sekali. Di satu sisi, Arisa dan Kak Yunan seperti agak mirip karakternya. Pendiam, bicara seperlunya, serius. Tapi di sisi lain, Kak Arisa di depannya kadang ceriwis dan tak segan menunjukkan perhatian secara fisik.

"Nomor kamarmu berapa, sih, Raesha?" tanya Arisa penasaran.

"Kamar nomor 1303, Kak," jawab Raesha.

"Ooh. Yang view-nya menghadap ke jalan utama, ya?"

"Iya. Kakak di nomor berapa?" tanya Raesha. Sebenarnya, Raesha tidak begitu ingin tahu, karena tidak mungkin juga dia berkunjung ke kamar Kak Yunan dan Kak Arisa.

"Kamarku di nomor 1331. Yang hadap ke taman."

"Ooh ... ," gumam Raesha. Dia dengar dari staf hotel, katanya kamar eksekutif beda-beda kelasnya. Mungkin kamar Yunan dan Arisa, rate-nya lebih mahal dibanding kamarnya dan Ilyasa, tebak Raesha.

"Kakak besok langsung balik ke Padang?" tanya Raesha.

"Enggak. Rencananya mau nginep di rumah Ayah dulu. Ayah request gitu, kata Yunan," jawab Arisa.

"Ooh," gumam Raesha manggut-manggut.

"Kita ngumpul, dong. Di rumah Ayah. Atau di rumahmu? Aku belum pernah nginep di rumahmu, lho. Waktu itu pas peresmian, aku 'kan datang, tapi waktu itu nginepnya di rumah Ayah," ucap Arisa dengan nada merajuk.

Wajah Raesha nampak gusar. Gimana menjelaskannya? Itu tidak mungkin dilakukan, karena kalau dirinya dan Yunan terlalu lama berada dalam tempat yang sama, akan muncul 'gangguan-gangguan' dari makhluk itu lagi. Kak Yunan tidak menjelaskan apapun pada istrinya? Bagaimana bisa? Melihat sikap ramah Arisa padanya, Raesha menebak, Yunan juga tidak pernah cerita kalau dia dan Yunan dulu pernah pacaran. Benar-benar, Kak Yunan, batin Raesha. Bahkan pada istrinya sendiri, Yunan tertutup.

"E-Emm ... iya, ya. Pintu rumahku terbuka lebar, Kak. Tafadhol kalau mau mampir atau menginap. Kakak bilang aja dulu sama Kak Yunan," kata Raesha akhirnya. Itu jawaban paling aman sepertinya. Habis, mau jawab apa? Masa' saudara mau menginap malah dilarang? Nanti juga kalau Arisa izin sama Yunan, permintaan Arisa langsung auto-ditolak sama Yunan.

"Ustadzah Raesha?"

Raesha dan Arisa serempak menoleh ke samping. Seorang wanita seumuran Raesha, yang berpakaian gamis dan jilbab hitam -- karena memang hitam adalah dress code untuk akhwat di acara ini -- menyapa sambil menepuk bahu Raesha.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang