215 - Pindah

320 99 17
                                    

.

.

"Ending-nya adalah, aku ada di sini sekarang."

.

.

***

Empat hari kemudian ...

Zhafran tersenyum menyambut kedatangan tamu istimewa di area suluk. Dia sudah rapi dengan baju koko abu muda berlengan tiga perempat, dan celana panjang hitam. Dengan paras tampan campuran Arabnya, sepintas Zhafran nampak seperti model pakaian muslim. Cincin Zhafran tidak terlihat di antara jemarinya. Artinya pria itu menjadikan cincinnya sebagai kalung dan menyembunyikannya di balik baju.

Seolah sudah tahu Yunan sekeluarga akan datang, Zhafran berdiri tepat di antara masjid dan tempat suluk.

Yunan membalas senyumnya. Tampilan Yunan yang sederhana, hanya dengan kaus, celana jins dan jaket tipis, membuatnya nampak bersahaja. Yunan terlihat seperti orang kebanyakan dan bukan Ustaz. Bahkan seperti bukan lulusan santri. Memang lain Syeikhnya yang satu ini, pikir Zhafran. Di belakang Yunan, Arisa tertutup cadar seperti biasa, berjalan menggendong Raihan. Sementara Yunan menarik sebuah koper besar.

Zhafran mencium tangan Yunan. "Assalamu'alaikum, ya Syeikh," ucapnya lembut.

Yunan menarik tangannya, tapi sudah terlambat. Entah kenapa dengan Zhafran, dia selalu gagal menarik tangannya tiap kali Zhafran hendak mencium tangannya.

"Kamu sudah tahu aku akan datang hari ini?" tebak Yunan.

"Ya, Syeikh. Syeikh Abdullah sudah bilang pada saya," jawab Zhafran. "Mari, Syeikh. Kamar Syeikh sudah saya rapikan. Besok atau lusa, insyaallah akan ada tukang yang merenovasi tempat tinggal Syeikh. Menambah kamar untuk Raihan," ucap Zhafran mempersilakan dengan sopan agar mereka mengikuti Zhafran berjalan di sepanjang dek kayu di samping kolam.

Yunan terkesan dengan pria di depannya ini. Zhafran didatangi Syeikh Abdullah lebih dulu dari yang lain.

Saat di rumah keluarga Danadyaksa, Yoga pernah bertanya diam-diam pada Yunan, "Apa Syeikh sudah datang di mimpimu?"

Yunan menggeleng, jujur menjawab belum.

Yoga nampak sedih. "Ayah juga belum ketemu beliau. Kangen sekali, tapi ya, bisa apa kalau memang ketemu di mimpi pun tak bisa."

"Kita tunggu empat puluh harian Syeikh," kata Yunan pada Yoga. Berusaha menghibur Yoga dan dirinya sendiri. Membuka harapan. Siapa tahu di hari keempatpuluh wafatnya Syeikh, mereka akhirnya bisa bertemu beliau meski hanya dalam mimpi.

Tapi ternyata Zhafran malah sudah didatangi Syeikh dalam mimpinya. Dua kali pula.

"Bagaimana keadaan Syeikh Abdullah dalam mimpimu?" tanya Yunan pada Zhafran, penasaran.

Zhafran tersenyum. "Kita sedang membicarakan Syeikh Abdullah. Menurut Syeikh, seperti apa keadaan beliau? Seluruh tubuh beliau bercahaya. Aku merasa, tidak perlu bertanya, jadi aku diam saja, tak bertanya apapun pada beliau."

Jawaban Zhafran yang penuh keyakinan, membuat Yunan tersenyum lebar. Dia paham mengapa orang seperti Zhafran ditugaskan Syeikh Abdullah untuk mendampinginya. Zhafran pemuda mukmin yang lurus dan berhati bersih. Karakter ideal seorang pewaris cincin istimewa yang dido'akan sembilan orang wali.

Padahal Yunan merasa, Zhafran lebih pantas diwarisi tempat suluk ini, ketimbang dirinya. Tapi sejak awal kedatangan Zhafran saat melayat Syeikh, tak ditemukannya sorot mata iri dengki, atau sepatah kata pun sindiran dari mulut Zhafran.

"Apakah pesan saya yang dititipkan dari Syeikh Abdullah, sampai?" tanya Zhafran.

"Sampai. Jelas sekali," jawab Yunan.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang