246 - Rumah Raesha

285 95 5
                                    

.

.

Bukankah itu bentuk syukur kita terhadap pemberian Allah?

Mensyukuri jodoh yang ditetapkan Allah untuk kita.

.

.

***

"Aku berangkat, ya, sayang. Hati-hati di rumah," kata Ilyasa yang sudah siap dengan baju koko dan celana panjang hitam.

Seminggu telah berlalu, dan jadwal survei Ilyasa ke Flores akhirnya tiba.

Raesha mencium punggung tangan suaminya. "Iya. Kamu juga. Hati-hati. Kabarin nanti kalau sudah mau boarding di bandara."

"Iya, sayang," ucap Ilyasa mengecup kening istrinya.

"Ismail, Ishaq, salim sama Bapak," kata Raesha mendekatkan kedua putranya yang di akhir pekan ini mengenakan kaus dan celana santai.

"Bapak mau dinas, ya?" tanya Ismail setelah mencium tangan bapaknya.

Ilyasa tersenyum geli mendengar istilah yang dipakai Ismail.

"Papanya Riko kalau tugas ke luar kota, katanya itu namanya dinas," ceplos Ismail lagi. Riko adalah anak tetangga, teman main Ismail dan Ishaq. Riko juga sekolah di madrasah mereka.

"Iya, sayang. Bapak dinas ke Flores dulu, ya," ucap Ilyasa mengusap kepala Ismail.

"Flores itu di mana, Pak?" tanya Ishaq yang lebih pendiam dan pemalu ketimbang Ismail.

"Di sebelah Timur Indonesia, sayang," jelas Ilyasa. Berusaha tidak terlalu detail menjelaskan, karena kemungkinan akan percuma. Ishaq terlalu kecil untuk memahami nama-nama pulau di Indonesia.

"Di mana itu?" tanya Ishaq lagi, dengan ekspresi penuh tanda.

Raesha tertawa. "Nanti Ibu tunjukin di peta, ya. Jangan nanya Bapak terus. Bapakmu mau berangkat, tuh."

"Sejam lagi, Ayah dan Ibu insyaallah datang untuk nginep di sini. Kamu jangan ke mana-mana dulu," pesan Ilyasa.

"Kayaknya emang gak mau ke mana-mana sih," gumam Raesha dengan kernyitan di dahi.

"Ya sudah. Aku pamit, ya. Assalamu'alaikum," ucap Ilyasa melambaikan tangan.

Raesha dan kedua putranya membalas lambaian tangan Ilyasa. "Wa'alaikumussalam."

"Ismail, Ishaq, jaga Ibu, ya," imbuh Ilyasa, meski dia tahu kedua putranya kemungkinan tak bisa berbuat apa-apa lantaran masih bocah.

"Iya, Pak! Ismail akan jaga Ibu!" kata Ismail sambil menepuk-nepuk dadanya. Ilyasa cekikikan melihat tingkah Ismail yang sok kuat.

Ilyasa dan tiga orang ustaz, berangkat memasuki taksi menuju bandara.

Raesha lega melihat suaminya pergi. Suami lebaynya itu, mengekangnya sedemikian rupa, hingga mau ke warung depan rumah saja, Raesha tetap harus izin pada Ilyasa. Lebay sangat.

"Bu, aku sama Ishaq mau main ke rumah Riko dulu, ya!" kata Ismail lantang.

"Iya. Jangan terlalu lama, ya. Jam makan siang langsung pulang. Nanti ada Eyang Kakung dan Eyang Putri, lho," sahut Raesha yang sedang berada di dapur.

"Eyang bule?" teriak Ismail dari arah pintu depan rumah.

"Iya. Eyang bule!" seru Raesha geli. Yoga disebut Eyang Bule di rumah ini. Padahal Ismail dan Ishaq sering disebut anak Korea oleh teman-teman sebayanya.

"Iyaa, Buu!"

Tanpa ba bi bu, Ismail menyeret adiknya keluar rumah.

"Jangan lupa, sebelum masuk ke rumah Riko, ucapkan sala--," Raesha terhenti langkahnya, saat melihat dia kini sendirian saja di rumah. Kedua bocahnya sudah pergi. Dasar, batinnya. Baru saja mereka mau dipesankan macam-macam.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang