330 - Pergi

246 80 10
                                    

.

.

Siapapun yang pergi lebih dulu, yang ditinggalkan akan menghadapi cobaan itu. Cobaan ditinggal pergi oleh orang terkasih.

Sementara orang yang pergi, sebenarnya menghadapi hal yang lebih berat. Hisab amal. Buah dari perbuatan di dunia.

.

.

***

Arisa menyiapkan barang-barang suaminya. Memasukkan baju dan barang-barang lainnya ke dalam koper. Bersiap untuk berangkat sore ini ke tempat suluk. Ustaz Umar sudah berangkat pagi tadi.

Masih teringat kejadian semalam, saat mendengar percakapan antara Yunan dan Raesha di luar pintu kamar. Sejujurnya, ada rasa cemburu, tapi Arisa berusaha husnuzon. Tidak mungkin suaminya sengaja janjian dengan Raesha, malam-malam buta menjelang dini hari. Itu hanya kebetulan saja. Kebetulan yang ajaib.

Seseorang mengetuk pintu kamar.

"Ummi, ini aku."

Arisa mengenali itu suara putranya. "Masuk, Raihan," sahut Arisa yang kini sedang tak berhijab.

Raihan masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi kasur.

"Kenapa, Raihan?" tanya Arisa melihat wajah galau putranya.

"Ummi, kita beneran masih di Jakarta? Ummi diminta Abi untuk nemenin Tante Raesha?" tanya Raihan.

Arisa yang telah selesai memasukkan semua barang, menutup ritsleting koper dan menghela napas. "Iya. Abimu meminta Ummi nemenin Tante Raesha. Nanti setelah Abi, Om Zhafran dan Om Mahzar berangkat ke bandara, kita pindah ke rumah Tante Raesha. Nanti kamu di sana nemenin Ismail dan Ishaq, ya. Kasihan mereka."

Raihan tertunduk kepalanya. "Terus ... pertunanganku sama Rayya -- "

"Ditunda dulu ya, sayang. Suasananya lagi kayak gini. Kamu lihat sendiri, 'kan? Mana mungkin kita menggelar pesta pas kondisinya masih berkabung kayak gini," bujuk Arisa sambil mengelus kepala Raihan.

Raihan mengangguk meski wajahnya kuyu. Arisa geli sekaligus kasihan melihatnya. Kemarin tertunda gara-gara Yunan koma. Sekarang karena kematian Yoga dan Ilyasa sekaligus. Memang begini jalan ceritanya. Mau gimana lagi?

.

.

"I-bu," panggil Yunan saat mengetuk pintu. Mahzar yang mendorong kursi roda Yunan.

Erika membuka pintu. Mengenakan baju kaftan santainya dengan jilbab instan berwarna oren.

"Kamu sudah mau berangkat?" tanya Erika.

Di dalam, Raesha memakai jilbab panjangnya. Dia tadinya mau berangkat ke rumahnya pagi, tapi begitu mendengar bahwa Kak Yunan dan rombongan akan berangkat sore, Raesha menunda waktu keberangkatannya. Tidak enak dengan Kak Arisa dan Raihan yang katanya akan menemani Raesha di rumahnya. Siang tadi, Raesha mendapat kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Arisa. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Raesha.

"Kak Arisa, aku dengar dari Kak Yunan, katanya Kakak mau nemenin aku di sini?" tanya Raesha sungkan.

"Iya, Raesha. Kakak diminta sama Yunan. Kamu jangan khawatir. Kakak gak merasa kerepotan, kok," jawab Arisa tersenyum. Mereka berdua bicara di kamar Arisa siang itu selepas makan siang. Yunan saat itu sedang bicara dengan Zhafran dan Mahzar di ruang duduk.

"T-Tapi, aku jadi gak enak, Kak. Kak Arisa 'kan pasti punya kegiatan lain di tempat suluk. Gara-gara aku, --"

"Enggak, Raesha. Pengajian akhwat di tempat suluk diambil alih oleh Ustadzah Maryam, selama Kakak masih di sini. Jadi, jangan khawatir," jelas Arisa mengelus pundak Raesha.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang