392 - Ambyar

209 62 11
                                    

.

.

Sungguh ambyar jika itu terjadi. Ambyar sampai ke akar-akarnya.

.

.

***

"Dulu Syeikh merebut Ustadzah Arisa dari Ustaz Malik?" tanya Zhafran, khawatir telinganya salah dengar.

"Iya," jawab Yunan menahan malu.

"Hm ... baiklah. Saya paham. Jadi, Syeikh berpikir, ada kemungkinan sekarang ini, Ustaz Malik sedang ingin membalas dendam lama, melalui Ustadzah Raesha? Begitu?"

Mengambil jeda, Yunan terlihat hati-hati saat menjawab, "bukannya menuduh, tapi memang kemungkinan itu terlintas di pikiranku. Maksudku, aku cuma berharap Raesha menjauh dari orang itu. Untuk berjaga-jaga saja. Tapi mereka malah kelihatan makin akrab. Padahal aku sudah meminta Malik untuk menjaga jarak dari Raesha. Raesha sudah mengalami banyak hal berat dalam hidupnya. Beberapa bulan lalu, dia baru kehilangan Ilyasa. Aku hanya tidak rela kalau ada yang memanfaatkan status Raesha sebagai janda."

"Hm ... ," gumam Zhafran singkat, sambil menelisik mata Yunan, membuat Yunan gugup. Apa yang dilihat Zhafran di matanya?

Benarkah hanya karena itu? Hanya karena tak ingin Raesha dilukai orang lain? Bukan karena tidak rela kalau Raesha dimiliki pria lain?

Wajah Yunan terasa panas. Zhafran menahan senyum. Pikirannya terbaca sepertinya.

"Jadi, aku mau ke Jakarta sore ini juga. Tolong pesankan tiket --"

"Syeikh," potong Zhafran seraya menggenggam tangan Yunan dengan lembut.

"Tolong pertimbangkan lagi, Syeikh. Kita ada jadwal majelis sore ini. Jama'ah akan berdatangan dari segala penjuru. Syeikh tahu 'kan, beberapa dari mereka, rela berkendara dua sampai tiga jam, supaya bisa hadir di majelis, demi bisa bertemu dan mendengarkan siapa? Syeikh Yunan Lham! Bukan saya!" ucap Zhafran dengan nada memohon pada suaranya.

"Tapi, bukankah selama ini majelis biasa diambil alih olehmu, setiap kali aku tidak ada?" tanya Yunan.

"Iya memang. Tapi mereka sayangnya sama Syeikh. Bukan saya. Kalau ke saya, mereka rebutan minta dido'ain macam-macam," Zhafran tertawa.

"Ah gak mungkin. Mereka pasti sayang juga sama kamu," bela Yunan.

"Beda, Syeikh. Sungguh, beda. Saya bisa lihat kekecewaan di mata mereka, begitu melihat yang ceramah saya, bukan Syeikh. Lantas, setelah rauhah, mereka akan bertanya, 'Syeikh ke mana, Ustaz?', 'Kapan Syeikh pulang?', 'salam buat Syeikh. Saya kangen beliau.'"

Yunan terdiam. Raut wajahnya berubah sedih.

"Jangan tanya saya kenapa mereka lebih sayang Syeikh. Syeikh yang diberikan madad Syeikh Abdullah. Syeikh mengajari mereka dengan sabar dan penuh kasih sayang. Syeikh berkali-kali bertanya, 'apa ucapan saya bisa dipahami? Ada yang kurang jelas?' Lalu Syeikh juga tak segan mengulang-ulang penjelasan kitab. Kalau saya 'kan, gak sabaran. Saya juga kaku, seperti kitab berjalan," Zhafran tertawa lagi.

Yunan tertunduk malu. Iya, memang. Zhafran adalah seorang perfeksionis. Kalau melihat ada yang kurang sesuai, bawaannya Zhafran adalah gemas. Sebagai contoh, terhadap Raihan yang agak ngasal, Zhafran harus menahan diri untuk tidak marah. Keluarannya adalah omelan ringan dan misuh-misuh. Sementara Yunan berusaha memaklumi. Bukan hanya semata karena Raihan putra kandungnya, tapi memang Yunan cenderung lebih bisa toleran terhadap ketidaksempurnaan. Dan Yunan juga mengajar dengan penuh kasih sayang. Sementara Zhafran, kurang bisa bersabar dengan murid yang agak susah paham.

"Jadi, tolong jangan terlalu sering meninggalkan jama'ah, Syeikh. Syeikh 'kan jadwal di majelis tempat suluk tidak terlalu sering. Hanya di Kamis malam, lalu rauhah Senin, Rabu dan Sabtu sore. Syeikh sering mondar-mandir mengajar ke luar kota. Kadang ke luar negeri beberapa hari. Kasihan jama'ah, Syeikh. Mereka merindukan Syeikh. Seandainya bisa tiap hari majelisan dengan Syeikh, mereka pasti mau," bujuk Zhafran.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang