.
.
"Kami memerlukan bukti lain yang lebih konkret."
.
.
***
Raesha terkejut saat melihat ada dua orang polisi berjaga di depan rumahnya. Spontan ia turun dari mobil. Raihan ikut turun bersamanya, sebagai satu-satunya laki-laki dewasa di dalam mobil.
"Selamat sore, Ustadzah Raesha," sapa salah seorang polisi yang tubuhnya lebih tambun.
Lagi, panggilan 'ustadzah' itu membuat Raesha rikuh. "Sore, Pak Polisi. Maaf, ada apa, ya?" Perasaan Raesha tidak enak. Bagaimanapun, disambut polisi ketika tiba di rumah, sepertinya bukanlah pertanda baik.
"Kami sudah coba hubungi nomor hape anda, tapi nomornya tidak aktif."
Raesha segera mengecek ponselnya di dalam tas. "Maaf, Pak. Hape saya habis baterainya. Saya baru sadar sekarang," ucapnya dengan nada penyesalan. Raesha memang sempat memberitahu salah satu ustadzah pengajar madrasah, kalau dirinya akan datang sore ini ke rumah. Ustadzah itu hanya mengabari kalau ada banyak karangan bunga ucapan belasungkawa yang dikirim ke madrasah, karena rumah Raesha digembok pagarnya. Tapi ustadzah itu tidak bilang apa-apa soal polisi mencari dirinya. Lalu ponsel Raesha keburu mati tanpa Raesha sadari.
"Tidak apa-apa. Kami tadi telepon ke madrasah. Salah satu staf madrasah bilang, Ustadzah Raesha kemungkinan akan datang ke rumah sore ini. Jadi kami langsung datang. Ada yang perlu kami konfirmasi."
Raesha dan Raihan saling lirik. Ini pasti terkait kasus pembunuhan Ilyasa.
"Baik, Pak. Silakan masuk. Sebentar," Raesha mengeluarkan kunci rumah dari dalam tasnya dan membuka pagar rumah. Kedua polisi itu masuk ke dalam, disusul oleh mobil yang disetiri Raihan.
"Temani Tante Raesha, Raihan," bisik Arisa pada Raihan. Raihan mengangguk. Tentu saja, dia tidak ingin membiarkan Raesha bicara sendirian dengan dua laki-laki di ruang tamu.
"Tante Arisa, kenapa ada polisi di rumahku?" tanya Ismail dengan wajah polosnya.
"Yuk kita main ke kamar aja," Arisa mengajak Ismail dan Ishaq ke kamar. Kedua bocah ini pasti belum tahu kalau bapak mereka meninggal karena dibunuh orang. Arisa belum tahu bagaimana sebaiknya cara menjelaskannya. Raesha mungkin juga bingung. Mungkin sebaiknya tugas berat ini biar nanti diserahkan pada Yunan saja.
"Dia Raihan, keponakan saya. Tidak apa-apa 'kan, kalau dia ikut mendengarkan percakapan ini?" tanya Raesha memperkenalkan Raihan pada kedua polisi. Mereka tengah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu.
"Oh tentu. Tidak masalah," jawab salah seorang polisi.
"Jadi ... ada apa?" tanya Raesha ragu. Dia takut sebenarnya. Raihan bisa mendengar suara Raesha gemetar. Raesha teringat yang dirasakannya saat melihat jasad kaku Ilyasa untuk pertama kali. Sekarang, hawa dingin di tubuhnya mirip dengan hawa dingin yang dirasakannya sore itu di ruang jenazah.
"Begini. Sebelumnya, maafkan karena kami harus membahas hal berat ini dengan anda. Maksud kami, kami mendengar, anda juga bukan hanya kehilangan Ustaz Ilyasa, tapi juga ayah anda, Pak Yoga. Tentunya, anda masih dalam masa berkabung. Tapi, ini masalahnya mendesak."
Raut wajah Raesha makin cemas. "A-Ada apa sebenarnya?"
"Sebenarnya, kami sengaja menunda meminta keterangan dari anda, karena mendengar anda sedang mengalami masa-masa berat berkabung. Maka kemarin kami lebih dulu meminta keterangan dari beberapa staf madrasah, dan juga kru acara dakwah Ustaz Ilyasa."
"Oh ... begitu? Lalu ... gimana, Pak Polisi? Apa ada titik terang dari kasus pembunuhan suami saya??" tanya Raesha panik. Dadanya berdebar kencang. Apa mereka sudah tahu siapa pembunuh Ilyasa?? Siapa?? Siapa orang yang berani-beraninya merenggut nyawa Ilyasa yang sangat dicintainya??
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED
SpiritualRaesha sudah menerima khitbah Ilyasa. Keduanya saling mencintai, tapi Ilyasa masih merasa, calon istrinya itu masih menyimpan rasa pada Yunan, kakak angkat Raesha. Dan sekali pun Yunan sudah punya istri bernama Arisa, dan putra bernama Raihan, Ilya...