Perhatian

272 62 30
                                    

"Pak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pak...bapak rehat dulu aja. Biar saya yang nungguin Semi."

Meski ditawari begitu, Cakra tidak beranjak dari tempatnya. Dia masih betah memandangi wajah putra bungsunya. Makin ke sini, wajah Semesta makin mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. Tapi Cakra enggan berspekulasi.

Arin yang masih berdiri hanya menghela nafas pasrah. Semenjak tiba di rumah, Cakra tak beranjak dari kamar Semesta. Lelaki itu sendiri yang menggendong Semesta sejak turun dari mobil hingga ke kamarnya. Cakra bahkan menolak bantuan dari pelayan untuk mengurusi Semesta. Semua lelaki itu lakukan sendiri.

Karena merasa Cakra tak akan beranjak, maka Arin mengambil kursi lainnya dan duduk di samping Cakra namun sedikit berjarak. Arin masih tahu diri. Hening menemani ketiga orang yang berbeda usia itu. Semesta masih setia menutup mata, sedangkan kedua orang lainnya sibuk memperhatikannya.

"Saya tadi dipanggil ke sekolahnya." Ucap Cakra membuka suara.

Arin menoleh sebentar, lalu kembali memandang Semesta ketika merasa Cakra hanya butuh bercerita.

"Semi berkelahi dengan temannya. Semua orang tua siswa yang terlibat dipanggil ke sekolah, termasuk saya. Kamu tau apa yang saya dengar sebelum masuk ke ruang BK? Saya mendengar mereka mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Semesta. Dan saya tidak mendengar pembelaan apapun darinya."

Arin jadi membayangkan posisi Semesta saat itu. Bagaimana ketika dia sendiri harus menghadapi manusia-manusia yang bisanya hanya berkata tanpa hati dan empati.

"Saat saya masuk, Semi sudah menunduk. Saya merasa jika dia memang bersalah, untuk itu dia takut bertatap muka dengan saya. Tapi saat mendengar cerita dari wali kelasnya, saya tau jika mereka justru yang lebih dulu mencari gara-gara dengan Semi."

Melihat kondisi wajah Semesta, juga beberapa plester yang menghias wajahnya, Arin menebak apa yang mereka lakukan pada Semesta.

"Semi pingsan saat kami meminta penjelasan padanya. Saya panik, Rin. Dia terus mimisan sampai kami tiba di rumah sakit. Kata dokter, ada benturan lumayan keras di kepala, lalu benturan di hidung yang menyebabkan mimisannya itu, serta beberapa luka lebam di bagian lainnya. Untungnya nggak ada yang parah. Cuma perlu istirahat sampai bener-bener sembuh."

Arin rasanya ingin menangis. Hidungnya kejatuhan handphone saja rasanya tidak karuan. Apalagi membayangkan sakitnya saja dia benar-benar ngilu, bagaimana Semesta yang merasakan semuanya. Tangannya bergerak pelan mengusap punggung tangan Semesta.

"Lalu...gimana mereka?"

Yang dimaksud Arin tentu anak-anak yang bermasalah dengan Semesta.

"Saya akan tetap mengusut masalah ini. Tidak ada pemakluman untuk semua tindakan perundungan dan kekerasan meskipun mereka di bawah umur."

Cakra memang mengakui dia bukan ayah yang baik. Yang selalu ada untuk anak-anaknya terutama Semesta. Tapi bagaimana pun, ada rasa tidak terima ketika darah dagingnya diperlakukan tidak seharusnya oleh orang lain.

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang