Makam

266 48 5
                                    

"Sem

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sem..."

"Nggak apa. Aku udah janji, kan? Tapi aku nggak janji buat nggak nangis."

Arin dan Cakra saling berpandangan lalu mengangguk. Lelaki dewasa itu lalu berjongkok agar si bungsu bisa naik ke punggungnya. Jalan yang mereka lalui tidak memungkinkan jika Semesta menggunakan kursi rodanya. Untuk itulah Cakra memutuskan untuk menggendong Semesta meski awalnya si bungsu menolaknya.

Suasana pemakaman begitu sunyi meski. Tentu saja, siapa yang betah berlama di pemakaman? Selain banyak cerita horor yang sering dikaitkan dengan makam, mungkin banyak dari orang-orang yang enggan pergi ke sana karena tak ingin kembali mengingat kehilangan yang dirasakan.

"Di sana, di bawah pohon itu."

Arin menunjukkan kemana arah yang mereka tuju. Semakin dekat dengan arah yang ditunjukkan oleh Arin, semakin bercampur pula perasaan Semesta. Ada senang, sedih, dan tentu kecewa. Tapi dari semuanya, ada kelegaan karena bisa mengetahui jawaban dari pertanyaan yang selama ini ia pendam.

"Ini dia."

Alyssa Maya

Semesta bisa membaca nama yang tertera di sana, serta tanggal kelahiran dan kematiannya.

Cakra menurunkan Semesta perlahan dibantu oleh Arin. Lalu ia dudukkan Semesta pada kursi portabel yang dibawa Arin.

"Ini..."

"Ini mama kamu, Sem. Alyssa Maya, atau Yesa."

Semesta memperhatikan nama yang terukir pada nisan. Ada perasaan lega ketika akhirnya mengetahui siapa nama kandungnya. Arin juga menunjukkan foto terakhir Alyssa ketika wanita itu masih mengandungnya. Sekilas wajah sang mama dan dirinya terlihat sama. Apalagi mata indah nan tajam itu, keduanya bak pinang dibelah dua.

Cakra membersihkan beberapa rumput liar yang tumbuh di sana. Makam itu begitu terawat. Mungkin Arin menyewa orang untuk merawatnya selama wanita itu pergi dulu. Arin meletakkan bunga yang ia bawa dan mengusap pelan nisan Yesa.

"Sa...ini kakak." Ucap Arin berbisik.

Hampir tujuh belas tahun berlalu dan Arin masih tetap belum merelakan kepergian Yesa. Adiknya belum sempat menikmati semua kerja kerasnya. Dan Arin juga belum sempat membahagiakan Yesa dan ibunya. Semua perasaan itu masih sama. Yang berubah hanyalah dendam Arin pada lelaki yang membuat adiknya terluka. Bukannya membalas dendam, tapi dia malah jatuh cinta.

"Maaf kakak baru bisa bawa Semi kemari."

Semesta bisa melihat Arin tersenyum pada makam di depannya. Seolah Arin benar-benar berbicara dengan Yesa di sana.

"Liat Semi...dia mirip kamu kan? Ganteng, pinter, paket lengkap pokoknya."

Ada perasaan hangat ketika Arin membanggakan dirinya di hadapan makam sang mama. Semesta hanya bisa memandang makam mamanya. Sebenernya Semesta ingin memeluk nisan itu dan menangis dengan keras. Tapi dia telah berjanji jika dia tidak akan menangis.

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang