Makan Malam

314 52 7
                                    

"Huh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Huh...akhire..."

Arin duduk sambil memandang ruangan yang sekarang menjadi tempat tinggalnya selama bekerja disini. Kamarnya terletak di lantai dua, disebelah kamar Semesta tentunya.

"Nek ngene yo aku betah."

(Kalau begini ya aku betah)

Luas kamar ini bahkan sama dengan luas kontrakannya. Di dalam kamar tersedia fasilitas yang lengkap seperti AC, kulkas kecil, dispenser, juga kamar mandi. Tak masalah dia menjual perabotan di kontrakan karena Arin yakin disini telah disediakan. Sedikit melakukan room tour sembari meletakkan barang-barangnya yang tidak seberapa.

Setelah berhasil menidurkan si bungsu, Arin tentu juga berhasil diterima sebagai pengasuh Semesta. Kontrak disiapkan dan kesepakatan terlah terjalin diantara kedua belah pihak. Semua persyaratan tidak ada yang memberatkan Arin meski kerjanya hampir dua puluh empat jam menjadi pengasuh Semesta. Tapi sesuai janji yang tertera, semua kebutuhannya juga akan dilayani oleh asisten yang lainnya.

"Mugi-mugi langgeng yo...capek aku nyari kerja tapi ndak kaya-kaya."

Arin memang bukan lulusan sarjana yang katanya lebih gampang mencari kerja. Ia pernah hampir kuliah meski akhirnya tak meneruskan niat karena kendala biaya. Pekerjaan yang dimiliki sebelumnya memang cukup baik begitu juga gajinya. Sayangnya karena masalah yang tak diduga, Arin harus rela melepasnya. Tapi dia tak pernah merasa menyesal keluar dari sana. Satu-satunya yang bisa membuatnya menyesal adalah karena gajinya.

Tapi kini Tuhan berbaik hati dengan memberikan ganti. Jika sesuai kontrak yang tertera, maka gajinya akan melebihi pekerjaan yang sebelumnya. Arin sempat menanyakan dan itu benar adanya. Dia memiliki gaji sekian selama masa training dan akan bertambah jika dia bisa melakukan pekerjaannya lebih baik. Arin tidak memprotes. Meski katanya training, tapi gajinya tidak main-main.

Merasa cukup dengan kamarnya, Arin berencana untuk keluar. Belum sampai beranjak, sebuah ketukan terdengar. Wanita itu bergegas membuka pintu dan melihat siapa yang bertamu.

"Loh ini...."

Seorang bocah berkacamata mendongak menatapnya.

"Papa bilang ajak kakak buat makan malam di ruang makan."

Suara merdu itu menyapa gendang telinganya. Arin bertanya-tanya apakah bocah ini salah seorang putra tuan Cakra? Sepertinya iya meski wajahnya tidak terlihat banyak menuruni ayahnya.

"Ah...iya. Kamu...namanya siapa ya?"

"Em? Han. Kaihan Petra Sanjaya."

Sikapnya tegak dan sedikit membungkuk ketika memperkenalkan diri. Arin sempat takjub dengan sopan santun yang dimiliki anak ini. Terlihat seperti tipe anak pendiam yang jenius.

"Oke Petra. Kakak boleh kasih tau arah ke ruang makan?"

"Boleh. Ayo kakak."

Arin mengikuti langkah Petra. Bocah itu tak membuka suara, jadi Arin menyimpulkan jika Petra memang pendiam. Keduanya sampai di ruang makan dengan anggota keluarga yang telah lengkap. Ada dua bocah lainnya yang sedikitnya memiliki kemiripan dengan Petra. Lalu ada Semesta yang duduk di sebelah Abian. Juga ada Cakra yang duduk di kursi ujung sebagai kepala keluarga.

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang