Sebuah Kenyataan

252 43 6
                                    

"Rin, saya mau bicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rin, saya mau bicara."

Arin yang baru saja keluar dari kamar Semesta hampir saja mengumpat karena kaget. Bagaimana tidak kaget jika dia langsung disuguhi Cakra dengan penampilan segarnya karena habis mandi. Apalagi tuannya itu hanya mengenakan celana pendek dan kaos saja. Bukan Arin ngiler, bukan. Cuma siapa yang tidak terpesona kala disuguhi pemandangan yang memanjakan mata seperti itu.

"Rin?"

"E-eh...iya pak."

"Ke ruangan saya aja ya?"

Anggukan Arin berikan. Pesona seorang Cakra Buana Sanjaya memang tak bisa ditolak begitu saja. Padahal lelaki itu telah memasuki usia kepala tiga, namun perawakan dan wajahnya masih terlihat seperti baru menginjak dewasa.

Cakra memimpin jalan ke ruangannya. Arin tidak pernah memasuki ruang ini karena memang ini adalah salah satu ruangan yang tidak bisa sembarangan dimasuki, kecuali jika si pemilik yang mempersilahkan sendiri.

"Duduk Rin."

Sesuai arahan Cakra, Arin duduk di sofa yang tersedia disana. Ruangan itu luas. Ada meja di ujung ruangan yang Arin tebak adalah meja kerja Cakra. Lalu ada beberapa rak tinggi yang entah berisi buku atau dokumen-dokumen penting. Di sudut ruangan yang lainnya ada meja pantri. Tak lupa ada dispenser dan pendingin kecil disana. Mungkin memang sengaja disediakan jika si tuan tak ingin repot-repot keluar jika sedang sibuk didalam.

"Mau yang bersoda atau jus?"

"Jus saja pak."

Cakra mengangguk dan mengambil salah kotak minuman yang diinginkan Arin. Sedangkan lelaki itu memilih kopi sebagai teman berbincangnya nanti.

"Rileks aja. Yang saya omongin bukan hal serius kok."

Arin hanya mengangguk. Mana mungkin dia bisa sesantai itu. Mau bagaimanapun Cakra adalah bos-nya. Dia tak mungkin bisa bersikap biasa seperti sikapnya pada Abian.

"Sebelumnya, saya tetap mau meminta maaf atas perilaku mama selama beliau disini."

Cakra tetap merasa tak enak hati dengan Arin, meski lelaki itu tahu sang mama tak lagi mengganggu pengasuh putranya setelah malam itu.

"Bapak nggak perlu minta maaf. Saya tau nyonya cuma khawatir. Apalagi bapak sama Bian itu orang sukses. Nyonya pasti takut anak-anaknya jatuh ke tangan yang salah."

Cakra tertawa kecil. Entah memang benar itu yang dipikirkan Arin atau sebaliknya, tapi dia tahu jika wanita itu tidak berniat menjelekkan mamanya. Padahal Cakra sendiri tahu jika semua tentu berawal dari sang mama.

"Mama memang overprotektif sama anak-anaknya. Mama nggak pengen anak-anaknya salah dalam memilih teman maupun pendamping. Beliau nggak pengen anak-anaknya hancur di masa depan karena salah memilih orang. Saya boleh cerita dikit?"

Arin mengangguk. Cakra membuka kaleng kopinya dan menyeruput sedikit isinya.

"Dulu kami nggak sekaya ini. Mama memang sejak lahir menggenggam sendok emas, sementara papa dulu memang dari keluarga kaya, tapi karena saat itu negara mengalami pergolakan dan akhirnya terjadi krisis, keluarga papa juga ikut mengalami krisis. Rencana pernikahan papa sama mama hampir saja batal kalau saat itu keduanya gagal meyakinkan jika mereka akan bertahan."

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang