Obrolan

254 40 10
                                    

Setelah malam itu, hubungan sang nyonya besar dan putra sulungnya menjadi lebih dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah malam itu, hubungan sang nyonya besar dan putra sulungnya menjadi lebih dingin. Cakra tidak berusaha menjelaskan apapun dan sang nyonya tetap dengan keangkuhannya enggan memberi penjelasan apalagi meminta maaf. Dan Abian yang tahu masalah itu dari abangnya ikut mendiamkan sang mama.

Berbeda dari Cakra yang lebih menurut dengan sang mama, Abian lebih keras kepala dengan peraturan-peraturan yang ada. Selama dia merasa benar, dia tidak akan mengalah. Begitu juga untuk kali ini. Bukan sekali dua kali mamanya merendahkan orang seperti ini. Mungkin ini juga menjadi karmanya yang tetap menjadi jomblo hingga kini.

"Jangan dimasukin hati yo Dew omongannya mama." Ucap Abian ketika keduanya memiliki kesempatan berbicara.

Nyonya besar sedang keluar entah ada urusan apa dan Cakra tentu masih dikantornya seperti biasa. Anak-anak yang lain sedang serius mengerjakan pekerjaan rumah bersama Semesta juga di ruang keluarga. Sedangkan Arin dan Abian kini sedang duduk berdua di ruang santai.

"Opo seh? Masalah nyonya besar toh?"

"Iya."

"Ndak Bi. Lagian yo ndak bener kok. Aku kan niat kerja disini. Aku juga ndak bakalan baper. Tau diri aku."

Arin memang tidak berniat aneh-aneh. Dia hanya ingin bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak yang ia bisa selagi masih bisa bekerja. Bukankah tidak ada yang tahu nasib kita di masa depan bagaimana.

"Lagian yo mana mungkin kamu atau pak Cakra suka sama aku. Sedangkan yang ngantri jadi pacar kalian ae buwanyaaak koyok orang antri BLT."

Abian terdiam mendengarnya. Memandang sahabatnya itu dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Namun tatapan itu langsung dialihkan begitu Arin juga balas memandangnya.

"Kok diem kamu? Kesambet loh."

"Enggak. Kepikiran kerjaan dikit."

"Emang ada masalah di kerjaan kok sampai kepikiran?"

"Hem...? Enggak sih. Biasa."

Arin mengangguk saja.

"Kok kamu nggak kerja bareng sama abang kamu aja? Kan lumayan bisa tukar pikiran soal kerjaan. Lagian kan sama-sama juga urusannya bisnis, urusan uang."

Gelengan dan tawa kecil Abian berikan. Pikiran Arin yang polos dan sederhana kadang membuatnya geleng-geleng kepala.

"Iya bener sama-sama bisnis. Tapi bidang yang kita geluti kan beda Dewiii..."

"Ya kan sama-sama bisnis yang bisa ngasilin duit. Kenapa ndak digabung aja? Biar kamu enteng, abangmu juga enteng. Aww..."

Arin mengusap dahinya yang disentil Abian. Pelan sih...tapi jari Abian kan berisi.

"Ya kalau bisnisku masih ada hubungan sama properti atau real estate sih nggak masalah. Tapi kan aku entertainment, mana nyambung?"

Arin mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Abian memang tidak tertarik dengan bisnis keluarganya. Sahabatnya itu sudah mengatakannya sejak mereka masih berada di sekolah menengah pertama. Untuk itulah abangnya yang mengalah untuk mengambil alih semua bisnis yang dijalankan oleh keluarganya selama ini. Apalagi ketika kondisi tuan besar Sanjaya mulai memburuk.

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang