Bagian Dua

34.1K 3.3K 9
                                    

Setelah bersiap aku akhirnya pergi ke tempat dimana Devian berada.

Sesuai namanya gudang kandang kuda, tempat itu berada dipojok dan terpencil, jauh dari kandang kuda asli.

Aku bertanya, dimana hati nurani Forsythia bisa bisanya ia menaruh seorang anak ditempat seperti itu. Dalam jarak beberapa meter pun, bau busuk sudah tercium.

Forsyhtia tidak mungkin mau pergi ke tempat ini sendirian, ia pasti menyuruh pelayan atau kesatria untuk menaruh Devian di gudang kandang. Aku saja bukan tipe orang yang mudah merasa jijik merasa mual, apalagi nyonya bangsawan.

“Disini yang mulia” pengasuh yang memimpin jalan, membuka pintu sebuah gubug yang pasti tempat gudang kandang.

Bau bangkai dan busuk langsung tercium ketika pintu dibuka. Pernapasanku tercekat, karena bau busuk yang tadinya tercium samar sekarang menghantam alat pernafasanku.

Tanpa sadar hidungku sudah tertutupi tangan, tidak kuat jika tidak ditutupi apapun.

Didalam terdapat beberapa bangkai kuda yang tergeletak, kotoran kuda yang berserakan, lalat hijau berterbangan dimana mana, menghinggapi tiap tiap bagian daging kuda atau kotorang yang menumpuk.

Di ujung kotoran menumpuk terdapat seorang anak lelaki kecil yang sedang meringkuk, menggigil.

Seluruh tubuhnya memerah, meski dirinya seorang pangeran pakaiannya sangat tidak pantas, bibir mungil anak itu pecah pecah, badan yang tidak ditutupi baju penuh dengan kotoran kuda.

Ya tuhan, bagaimana bisa meninggalkan seorang anak sendirian seperti ini?

“Siapa namamu?” aku berkata pada pengasuh.

“Ya? Ah nama saya Anna yang mulia” seorang wanita berambut cokelat ini bingung dengan pertanyaan permaisuri.

Permaisuri memang acuh tak acuh dengan anak tirinya jadi wajar saja jika permaisuri bahkan tidak tau namanya. 

Aku pergi ke mana tempat anak itu tergeletak, melewati kotoran kuda, meskipun aku sudah berusaha memilih jalan agar tidak terinjak namun saking banyaknya kotoran, sesekali aku menginjak kotoran kuda, rasa lembek dikakiku membuatku mual.

“Yang mulia!”

“Permaisuri!”

Orang orang mulai meneriakiku satu per satu. Aku tetap pergi dengan menyincing gaunku agar tidak terseret dan terkena kotoran. Tidak ada yang mengikutiku kecuali pengasuh.

“Kalau aku membawanya, apakah ia akan bangun?”

Sejujurnya aku mengatakan itu untuk diriku sendiri, sudah menjadi kebiasaan untuk menanyakan apapun pada diri terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, tapi tanpa aku duga pertanyaan itu mendapat jawaban.

“Tidak yang mulia, anda bisa mengendong pangeran jika yang mulia ingin” Anna dengan sopan menjawab pertanyaan lirih Forsythia.

“Apa? Ah okey” aku tergagap karena tidak berharap mendapat jawaban.

Aku kemudian berlutut, mengarahkan kedua tangan kebawah ketiak Devian, badannya yang sangat panas ditransfer ke tanganku. Aku kemudian mengangkat dan menggendongnya.

“Kita perlu ke kamarnya segera, sudahkah dokter dipanggil?” aku panik, tidak mengharapkan tubuh Devian sepanas ini.

“Sudah yang mulia” seorang pelayan wanita paruh baya menjawab.

🐰🐰🐰

Bagi aku orang modern yang pernah melihat kamar sempit, kamar yang digunakan Devian memang layak huni, tapi bagi status pangeran, kamar ini jauh dari kata layak.

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang