Bagian Sembilan

29.7K 2.8K 4
                                    

Malam ini aku berjanji pada Devian untuk membacakan dongeng sebelum tidur. Aku juga ingin bertanya, bagaimana perasaannya, ketika bertemu ayahnya tadi.

Aku melihat anak berambut perak duduk diatas kasur, sudah memakai piyama tidurnya.

“Sudah siap Devian? Terimakasih Anna”

“Ini sudah kewajiban saya Yang Mulia”

Akhir akhir ini tatapan Anna sudah berbeda, tidak ada lagi kecurigaan atau rasa permusuhan. Aku bersyukur, niat baikku akhirnya tersalurkan.  

“Haruskah besok ibu yang membantumu sebelum tidur?”

Sebenarnya, aku ingin sekali membawanya untuk sikat gigi dan berganti piyama. Padahal aku sudah datang lebih awal, tapi ternyata Anna sudah melakukan semuanya.

Devian menggeleng.

“Tidak”

Aku tidak menyangka akan mendapat penolakan.

“Kenapa? Apa tidak suka jika ibu yang nenemanimu?”

“Bu bukan, saya tidak ingin merepotkan ibu”

Dirinya menunduk, tidak ingin menatap mataku.

“Ibu merasa senang jika direpotkan Devian” aku berkata sambil memegang kedua tangannya, menyuruhnya untuk menatapku.

“Mengapa?”

“Karena Devian anak yang ibu sayangi, ketika orang yang kita sayangi meminta bantuan, kita juga akan senang”

“Dalam kamus, senang artinya puas dan lega, tanpa rasa susah dan kecewa. Ibu akan kesusahan untuk membantuku sebelum tidur, jadi bagaimana ibu bisa senang?”

Ya? Kamus? Perasaan tidak bisa disederhanakan hanya berdasarkan pengertian dari kamus. Sebentar, apa itu berarti Devian kesusahan mengidentifikasi perasaanya, hingga ia perlu membaca kamus?

Huh, ayo kita tenang dulu. Jangan perlihatkan perubahan wajahku, aku tidak ingin Devian bertanya, apakah dirinya berbeda dari orang lain. Aku harus bersyukur, bahwa Devian mau menceritakan hal ini padaku, itu artinya ia sudah terbuka.

“Eeemm apa Devian menyukai Ibu?”

“Tentu saja”

“Jika Ibu kesulitan membawa barang, apa Devian ingin membantu Ibu?”

“Ya, pasti”

“Kira kira, apa yang Devian rasakan?”

“Eeemm, aku tidak tau karena kejadian itu tidak pernah terjadi”

Aku salah berkata. Bagaimana caraku membantu mengelola perasaannya?

“Devian”

“Ya”

“Mulai sekarang, rasakan setiap perasaan yang datang di hati Devian, tolong jabarkan dan katakan pada Ibu”

Semoga saja, ini cara yang tepat.

“Mengapa?”

Tajam sekali pola pikir anak umur lima tahun ini.

“Karena ibu juga ingin merasakan, apa yang Devian rasakan.”

“Baik”

Untungnya, Devian bisa menerima perkataanku kali ini.

“Sekarang, ayo kita tidur”

Sepertinya, dongeng mendongeng kita undur lebih dulu.

🐰🐰🐰

Aku keluar dari kamar Devian dengan pikiran yang kalut.

‘Mengapa Devian tidak bisa mengidentifikasi? Apa itu salah satu penyebab sifat posesif pada Salvia? Apa itu karena kurangnya kasih sayang? Kenapa..’

“Perma…”

Suara bass dan rendah terdengar dari belakang.

“Haah” aku terkejut, bahuku tertarik keatas dengan cepat.

Aku memang bukan orang yang terkejut dengan berteriak kencang, tapi tetap saja ini mengagetkan.

“Yang Mulia?”

Kenapa malam malam begini Kaisar ada di sini? Jarak antara Istana Kaisar dan Permaisuri lumayan jauh, tidak mungkin jika hanya kebetulan semata.

“Aku tidak bisa tidur.”

Mata hitamnya menatap pintu yang tertutup.

“Devian sudah tidur Yang Mulia. Anak anak memang selalu tidur lebih dulu.”

Nerva hanya mengangguk, tanpa berkata.

“Eeemm saya akan kembali Yang Mulia”

“Aku ingin mengajakmu jalan jalan”

Suara Nerva menghentikan langkahku. Apa aku tidak salah dengar? Nerva yang itu? Kaisar yang suka menganiaya Devian di novel, mengajakku jalan jalan?

“Sekarang Yang Mulia?”

“Ya, jika Permaisuri tidak keberatan”

Ada yang aneh, tidak mungkin orang yang tega menjahati anak anak meminta pendapat orang lain. Ah aku tidak boleh berburuk sangka, bisa jadi Nerva aslinya adalah orang yang baik.

“Saya tidak keberatan, tunggu sebentar Yang Mulia. Saya akan mengambil selimut” tidak mungkin diudara malam yang dingin, keluar tanpa menggunakan selimut.

“Tidak perlu”

Nerva memperlihatkan selimut yang ada ditangannya.

“Tidak mungkin aku mengajak wanita keluar, tanpa persiapan. Permisi”

Nerva berjalan mendekat, membuka selimut kemudian menyampirkan dibahuku.

“Hmp”

Deg

Aku menahan nafas karena Nerva mendekat, ia memang sudah meminta izin, tetap saja. Meski dirinya sudah menjauh, jantungku masih berdetak cepat. Entah karena terkejut atau hal lain.

“Kalau begitu mari”

Nerva menyodorkan lengannya.

“Ah ya” aku mau tidak mau, menaruh tanganku dilengan lelaki ini.

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang