Bagian Enam

29.2K 3.6K 26
                                    

“Ibu”

Seseorang memanggil sebutan yang anehnya sekarang tidak asing. Aku membuka mata, oh dari kapan aku tertidur?

Membenarkan posisi dudukku, menatap mata hitam yang memiliki ketinggian dibawah mata hijauku.

“Sudah selesai?”

“Ya”  

“Kalau begitu mari kita bermain” aku berteriak tanpa tau ada sepasang mata yang masih ada didalam ruangan, mengamatiku. 

“Pelajaran hari ini sudah selesai, saya izin undur diri Yang Mulia”

Orang yang mengamatiku, mengeluarkan kalimat masih dengan nada sopannya.

“Ya, terimakasih atas kerja kerasnya tuan Erland”

Tidak ada perubahan pada wajahnya. Padahal ketika aku berterimakasih menggunakan tubuh dan suara Forsythia, orang lain akan terkejut hingga wajah mereka berubah pucat pasi. Aku cukup menyukai perilaku tuan Erland.

Ia tidak menjawab hanya menunduk dan meninggalkan ruangan. 

“Ibu sudah menyiapkan sesuatu, ingin melihat?”

“Ya”

Tangan kananku aku arahkan ke depan wajah anak ini. Ia mengambilnya, tapi saking kecil dan imut tangannya, hanya jari kelingking dan manisku saja yang terambil. Ditambah dengan senyumnya yang malu malu, argghh gila gila imut sekali.

Aku membawanya ke sebuah ruangan yang sudah aku persiapkan untuk tempat bermainnya. Wajah Devian berkelip kelip, menatap keseluruh ruangan. Matanya berhenti disebuah mangkok besar yang terletak ditengah ruangan.

“Tepung?” Devian berhenti sejenak, mungkin saking terkejutnya.

“Ya, ayo kita buat slime.”

Sejauh yang aku tau, bermain slime sangat bagus untuk anak. Daripada melatih menggunakan pedang sejak dini, aku ingin melatih ketangkasan dan kekuatan tangannya menggunakan slime.

Selain itu aku ingin melihat kreatifitas Devian pada saat dirinya memberikan warna dan menebak bentuk yang nanti aku buat.

“Slime?”

Ah aku lupa tidak ada mainan yang serupa disini. Eemm bagaimana caraku menjelaskan? 

“Mari kita langsung beraksi”

Yah, lebih baik segera membuat dan memperlihatkannya pada Devian.

Aku duduk dilantai, merasa tidak ada yang mengikuti, aku berbalik. Benar saja, Devian hanya berdiri diam menatapku dengan heran. Tapi tidak hanya anak berambut perak yang menatapku begitu, para pelayan pun ikut menatap. Apa karena aku langsung duduk dilantai?

“Kemari, sini” karena menurutku tidak ada yang salah untuk langsung duduk tanpa alas, aku segera menyuruh Devian mendekat.

Untungnya Devian, menurut. Mendekat, kemudian duduk didepanku.

“Ikuti ibu, mengerti?”

Melihatnya menatap dengan penuh tekad. Aku langsung mencampurkan sabun dan juga tepung kedalam mangkok, sambil melihat proses dan takaran yang diberikan Devian pada mangkoknya sendiri. Aku mengaduk dan Devian mengikuti.

“Sekarang pilih warnanya” aku menyodorkan beberapa botol warna warni didepannya.

Anak ini mengambil warna hijau, aku mengambil warna merah muda.

“Taruh didalamnya”

Agaknya perkataan itu tidak bisa dipercaya, Devian tidak melakukan apapun sampai aku menjatuhkan beberapa tetes warna kedalam adonan.

“Lalu terus diaduk dan ditekan”

Beberapa kali mengaduk, tekstur dari slime sudah mulai terlihat.

“Waaahh” dengan mata berbinar, seruan keluar dari bibir mungil anak bermata hitam.

“Tekan dengan kuat”

Aku pura pura menekan slime dengan kekuatan penuh. Melihatku begitu asik, Devian ikut ikutan memberikan tenaganya ke dalam slime.

“Hahaha” tertawa karena melihat pipi montoknya bergetar, berusaha mengerahkan kekuatannya ke dalam slime.

Devian yang melihatku tertawa, berhenti bergerak. Tidak tau apa yang membuatku tertawa.

“Ibu?”

Mata bulatnya berhenti diwajahku. Melihat matanya bertambah bulat, tangan kecilnya yang kotor, pipi yang putih semakin putih akibat tepung, membuatku tidak bisa mengendalikan diri.

Tuk

Jari telunjukku yang sudah aku berikan pewarna, mendarat ke pipinya. Lagi lagi ia hanya diam, tidak berkata atau membalas berbuatanku.

“Kenapa? Tidak apa apa jika ingin membalas” aku menutup mata

Wajahku sepenuhnya aku serahkan didepan Devian, memudahkan untuk memberikan warna, tepung atau apapun diwajahku. Aku menunggu, tapi karena tidak ada yang terjadi aku ingin membuka mata, namun sebelum mataku terbuka.

Cup.

Sebentar? Tidak salahkan? Devian menciumku? Aaaahhhh. Aku langsung membuka mata. Anak yang dengan berani mencium pipiku, sekarang menunduk dengan malu malu.

“Siapa yang berani menciumku dengan tiba tiba? Kau akan tau akibatnya” aku berkata dengan main main dan memeluknya dengan erat.

“Aaaahhh ibuuu, aku tidak bisa bernafas” meski berkata begitu, senyum tidak hilang dari wajah anak yang ada dipelukan ibunya.

Seseorang yang berada di depan pintu, berbalik. Jubahnya berkibar dengan tangan terkepal.

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang