Bagian Sebelas

26.7K 2.6K 3
                                    

Pagi harinya, aku duduk berdiam diri, sambil menunggu rambutku selesai dibenarkan oleh Nia. Tidak ada yang aku lakukan dengan perbuatan Nia kemarin. Menurutku sudah cukup untuknya belajar bahwa apa yang ia katakan itu salah.

“Sudah selesai Yang Mulia” 

“Ya, kau boleh pergi”

Memang, aku sudah memaafkan, bukan berarti aku ingin tetap bersamanya. Toh hubungan antara aku dan Nia hanya sebatas pelayan dan tuan.

“Saya akan menemani Anda Yang Mulia” 

“Tidak perlu Nia. Zea kau ikut aku”

“Ba baik Yang Mulia”

Menjadi Permaisuri mengharuskanmu membawa pelayan, minimal satu. Jadi mau tidak mau, aku harus memilih pelayan.

Aku memilih Zea, secara kebetulan hanya dari wajahnya yang sepertinya tidak banyak bicara, dan pilihanku tepat. Di mulai dari rasa tidak sukaku pada Nia, aku selalu membawa Zea kemanapun.

Nia yang ditinggal bersama pelayan lain, memberikan senyuman “Lihat saja akan bertahan berapa lama kesombonganmu, Nona”. Nia berkata selirih mungkin, agar tidak terdengar oleh pelayan lain.

🌱🌱🌱

Aku memutuskan untuk tidak mengikuti jam belajar Devian lagi, memilih menikmati teh didepan taman bunga.

‘Haahh benar benar menenangkan. Ah aku hampir lupa, festival’

Beberapa hari kedepan, Nerva mungkin tidak akan bertanya tentang festival. Tapi seharusnya aku sudah memiliki bayangan, akan seperti apa festival itu. 

“Zea, dari mana kau berasal?” bisa saja, ideku akan bermunculan ketika mendengar festival ditempatnya.

“Dari timur benua Yang Mulia” Zea tidak tau jika Permaisuri akan mengajaknya berbicara, untung saja ia menjawab dengan cepat dan tepat.

“Festival apa yang ada disana?”

“Festival yang paling terkenal, The Holy.”

“The Holy?” baru kali ini aku mendengarnya.

“Benar Yang Mulia, satu hal yang orang orang tidak tau tentang Timur. Timur memang terkenal dengan gurun yang tandus, namun Timur juga memiliki sumber mata air yang besar.”

Satu dua hal yang saling bertabrakan, tidak ada yang aneh.

“The Holy adalah waktu bagi lelaki dan perempuan yang ingin membersihkan hatinya. Mereka bisa menanam, menghanyutkan dan melepaskan apapun sesuai dengan aura mereka.” Zea melanjutkan kalimat yang terhenti.

“Aura?”

“Ada suatu pekerjaan di Timur yang bernama, pembaca aura. Aura aura manusia itu ada yang berasal dari tanah, langit dan air. Para lelaki dan perempuan bisa melepaskan sesuai dengan aura yang mereka dapat. Jika di tanah, ditanam. Air, dihanyutkan. Langit, diterbangkan.”

“Waahh, lalu apa yang mereka lepaskan?”

“Apapun, mereka bisa melepaskan barang barang orang yang sudah meninggal, barang barang dari mantan pacar atau barang barang dari tempat kerja. Yang penting, mereka sudah bisa melepaskan. Itu adalah festival yang penuh suka dan duka. Selain The Holy, masih ada beberapa festival di Timur dan benua lain yang bisa saya jelaskan.”

Baru kali ini aku mendengar Zea bercerita, karena selama denganku ia selalu diam dan tidak banyak bicara.

“Itu keren, bagaimana kau bisa tau?”

Aku tau, pelayan Permaisuri yang terpilih harus berasal dari bangsawan, kecuali pelayan yang Permaisuri bawa sendiri.

Aku mengira, para pelayan hanya paham mengenai etiket, tata cara penyulam, menjahit, hal hal yang berkaitan dengan keanggunan. Tidak pernah terfikir jika ada, pelayan Permaisuri yang tau mengenai festival.

“Sebelum saya menjadi pelayan. Saya suka mengelilingi Kekaisaran dan mencoba berbagai macam festival”

“Bagus, mulai sekarang tolong ceritakan beberapa festival itu”

Ya mungkin saja, aku akan kebanjiran ide setelah mendengar cerita dari Zea.

“Ya? Ya Yang Mulia. Baik, dengan senang hati”

Awalnya memang Zea ragu ragu, namun untung saja ia menerima.

“Ibu”

Sepertinya aku mendengar cerita Zea terlalu terhanyut, hingga tidak sadar seorang anak sudah datang.

“Bagaimana belajarnya Devian?”

Aku dan Devian sepakat, sesudah belajar ia akan segera datang ke taman dan aku akan menunggunya.

“Menyenangkan”

“Begitu? Apa yang kau pelajari?”

“Tentang urusan politik”

Wow, standar anak pangeran dan standar anak dunia ini sungguh luar biasa.

“Ibu senang jika Devian juga senang”

Kami saling menatap dan saling tersenyum, melupakan seseorang yang ada di belakang Devian.

“Selamat sore Yang Mulia Permaisuri” seorang lelaki berambut hijau menunduk memberikan salam.

“Ya, selamat sore tuan Erland. Mari minum teh bersama.”

“Ya?”

Kebiasaan basa basi orang Indonesia sepertinya masih melekat di diriku. Aku tidak memusingkan apa yang aku katakan, sampai melihat ekspresi yang diberikan tuan Erland. Padahal aku tau, perkataan Permaisuri adalah perintah bagi yang mendengar.

“Ta…”

“Baik, Terimakasih Yang Mulia”

Baru saja aku ingin berkata, jika ia tidak bisa tidak usah memaksa. Aku tidak tau jika tuan Erland, akan menjawab dengan cepat.

“Bawakan cangkir yang baru Zea”

Nasi sudah menjadi bubur, mari kita minum teh bersama saja.

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang