Bagian Enam Puluh

4.3K 540 25
                                    

Tak

Tak

Setiap langkah kaki yang ia ambil membuat bulu kudukku berdiri.
Selagi aku menarik kaki yang masih saja sulit di gerakkan, aku mencari barang barang yang mungkin saja bisa membantuku menghambat pergerakan Belial.

Begitu aku melihat barang sekecil apapun, aku langsung melemparkannya begitu saja. Di mulai dari pulpen yang jatuh karena angin yang luar biasa kencang hingga pecahan vas bunga.

Tak

Salah satu pecahan kaca mengenai wajahnya. Antara ketakutan dan kelegaan menghampiri hatiku.

“Haahh”

Orang yang aku yakini sebagai Belial menghapus pipinya yang tergores. Anehnya, bukan mendekat padaku Belial menjauh, mengambil pedang yang terletak tepat di samping tempat duduk Nerva.

Melihat dirinya menjauh, aku berusaha berdiri dengan menjadikan kursi sebagai pegangan. Namun, kakiku terhenti begitu mendengar suara Belial.

“Akan menyenangkan membunuh mereka semua sebagai pemanasan.”

Sepertinya Belial sudah menduga bahwa aku tidak kabur, melihat ke mata hijauku. Apa yang ia katakan? Mataku langsung beralih ke para bangsawan dan pelayan, karena posisi kami berada di atas semua kejadian di aula terlihat. Mereka dengan keadaan panik, berlarian kesana kemari.

“Sebagai anak Tuhan, aku tau kau tidak akan mau melihat seseorang menderita”

Belial berkata seolah telah lama mengenalku.

Aku yang ingin menjawab, berhenti karena tiba tiba saja seorang lelaki datang.

“Yang Mul….”

Sring

Bug

“AAAHHHH”

Lelaki itu berhenti berbicara karena pedang di tangan Belial menebas tepat di lehernya. Kepala lelaki itu menggelinding begitu saja jatuh melewati tangga. Membuat para bangsawan dan pelayan berteriak dan lagi lagi membuat kerusuhan semakin menjadi.

Aku gemetar, semakin tidak bisa menggerakkan diri apalagi setelah melihat wajah Belial di penuhi darah.

Tidak menungguku bereaksi, Belial segera berjalan mendekati orang orang yang ada di bawah.

Tidak! Aku harus berbuat sesuatu sebelum kejadian itu terjadi lagi. Aku mengingat sesuatu yang diberikan malaikat. Dengan tangan gemetar aku mengambil sebuah tongkat kecil.

“Lyveva”

Begitu aku menggaungkan nama itu, tongkat kecil berubah menjadi panjang dengan bilah di kedua sisi. Rasa pesimis, keragu-raguan dan gemetar di seluruh tubuhku hilang, seolah aku di yakinkan bahwa aku bisa melakukan segala hal.

Ada dua nama yang di sebutkan malaikat padaku terakhir kali. Nama yang tidak bisa aku ingat dan nama yang malaikat katakan sebagai nama baptis, nama yang aku gaungkan sekarang.

Aku berjalan cepat dengan pedang di tangan, menghentikan keinginan semena-mena Belial.

Sring

Pedang di tangan, aku arahkan di lehernya.

“Berhenti, aku yang ingin kau bunuh bukan orang lain.”

Belial berhenti begitu mendengar perkataanku.

“Sudah lama aku tidak melihat pedang ini.”

Lama?  Itu berarti Belial pernah melihat pedang ini?

Aku hiraukan rasa penasaran dan pikiranku sejenak.

“SEGERA EVAKUASI SEMUA ORANG.”

Keributan masih saja terjadi, aku yakin karena mereka menunggu perintah dari Kaisar. Tapi karena orang di depanku inilah yang menjadi masalah, tidak mungkin dirinya akan memberikan perintah begitu.

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang