Kami sudah sampai didepan kamarku. Tidak mungkin, aku membiarkannya pergi tanpa bertanya lebih dulu.
“Ada urusan apa Yang Mulia di sini?” aku melihat kearah lelaki berambut perak, yang tangannya masih berada di bahuku.
“Aku hanya pergi untuk memberimu ini”
Nerva memberiku sebundel kertas yang diikat.
“Apa ini Yang Mulia?” aku mengambil kertas itu.
“Itu kumpulan festival dari berbagai tempat. Semoga itu bisa membantumu mencari festival yang tepat.”
Dirinya seorang Kaisar, yang pasti banyak sekali pekerjaan menumpuk. Dan mengumpulkan ini, untukku? Jantungku berdetak tidak beraturan. Aku sangat menyukai sikapnya.
“Terimakasih banyak Yang Mulia”
Nerva menikmati melihat senyuman Forsythia. Bibir mungilnya yang tertarik keatas, mata bulatnya yang bergerak berulang kali. Tanpa sadar, tangan Nerva bergerak, ingin mengelus pucuk surai beda warna Forsythia.
“Yang Mulia?”
“Ah maaf”
Terlalu larut melihat Forsythia, hingga Nerva ingin mengelus kepala Forsythia tanpa persetujuan. Ciri lelaki dengan berperilaku baik, meminta izin sebelum melakukan. Itu hal dasar yang Nerva pelajari. Sangat sulit dilakukan, karena aslinya Nerva akan melakukan apapun sesuai keinginan lelaki ini.
“Jika Yang Mulia ingin mengelus kepalaku, silahkan. Ah Yang Mulia juga tidak perlu meminta izin untuk hal hal seperti ini.”
“Benarkah?”
“Ya” aku sangat yakin, Nerva tidak akan melakukan hal hal aneh padaku. Perilakunya ini, pasti semata mata ingin memperlihatkan keharmonisan antara Kaisar dan Permaisuri.
“Kalau begitu…”
Nerva mendekat kearahku, pergerakannya tiba tiba membuat kakiku berjalan kebelakang. Punggungku akhirnya mengenai tembok, tidak bisa melangkah lebih jauh. Dirinya menunduk, wajahnya berada tepat didepanku.
“Ya yang Mulia?” aku memegang dengan erat kertas yang ada ditangan, tidak mengerti mengapa Nerva melakukan ini.
“Nerva”
“Ya?”
“Panggil aku Nerva”
“Ta tapi Yang Mulia”
“Panggil namaku, Forsythia”
Suara rendah namun lembut yang memanggil namaku, membuatku tertegun sejenak. Aku sekarang paham, euphoria dipanggil dengan nama oleh seseorang.
“Nerva”
Apa ia juga merasakan kesenangan saat dipanggil namanya olehku? Aku mendapat jawaban, saat ini juga. Ketika aku memanggil namanya, Nerva tersenyum.
“Bagus, istirahatlah”Setelah berkata, jari jari tangannya tiba tiba menelisik ke belakang leher dan mengecup keningku. Nerva langsung pergi, seusai memberikan gempa tanpa permisi dihatiku.
“Tidak tidak bagus untuk jantungku. Huh udara sangat panas.” aku mengipasi diriku dengan kertas yang aku bawa, sambil membuka pintu.
“Ibu”
Tanpa ku duga, Devian ada di kamarku.
“Apa ibu sakit?”
Sebelum bisa berkata kata, Devian turun dari kursinya dan berjalan kearahku.
“Sakit? Tidak ibu baik baik saja”
“Tapi wajah ibu merah, ibu pasti demam. Aku akan memanggil dokter.”
“Tu tunggu Devian, ini bukan karena ibu sakit”
Apa pipiku masih terlihat merah? Pasti karena kulit Forsythia terlalu pucat.
“Lalu?” Devian sedikit memiringkan kepalanya, tidak paham.
‘Itu karena ayahmu’
Hah tidak mungkin, aku bisa berkata begitu.
“I itu karena diluar panas”
“Tapi…”
“Ayo kita duduk”
Aku segera mengalihkan pembicaraan, sebelum Devian bisa berkata sekarang sudah sore dan keadaan diluar tidak panas.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Diatas meja tergeletak sebuah buku yang terbuka. Aku menutup sedikit, ingin melihat judulnya. Kamus dan Emosi Manusia.
“Menyenangkan membaca ini Devian?”
Orang orang yang membaca ini, biasanya ingin lebih mengenal dan mengendalikan emosi di dirinya sendiri. Tapi sepertinya itu berbeda untuk anak ini.
“Ya, manusia susah dimengerti, tapi lebih mudah dengan buku ini”
Pasti ia membaca, karena kebingungan dengan dirinya sendiri. Bukankah akan sulit jika bisa merasakan tapi tidak bisa mengidentifikasi?
Mereka akan kesulitan, mengambil keputusan setelah merasakan emosi. Apalagi ketika tubuh, memberikan reaksi pada emosi yang dirasakan.
“Apa Devian punya pertanyaan setelah membaca buku ini?” mungkin saja aku bisa membantunya.
“Tidak ada”
“Baiklah, bagaimana kalau kita baca bersama?”
“Baik”
🐰🐰🐰
Seusai mengantar Devian kembali ke kamarnya dan membersihkan diri. Aku menaruh diriku diatas kasur. Malam tiba dan pikiran pikiran mulai bermunculan.
Bayangan wajah Nerva yang tersenyum, membuatku tersipu.
“Arrgghh. Lelaki tampan, memang tidak boleh terlalu banyak tersenyum” aku mengangguk anggukan kepala.
Pikiranku sampai ke permasalahan Devian. Apa yang harus aku lakukan?
“Haahh, mulai besok aku harus banyak membaca buku tentang emosi.”
Ya, berhenti memikirkan banyak hal. Aku harus tidur.
Disaat mata terpejam dan terlelap, pintu kamarku diketuk kencang.
“Yang Mulia, Yang Mulia Permaisuri”
Mataku yang masih berat, terbuka mendengar teriakan gelisah dari balik pintu. Aku yakin itu suara Anna.
“Ada apa pagi pagi begini?” aku duduk dan melihat ke jendela, matahari baru muncul sedikit.
Aku merapikan piyama dan bergegas membuka pintu, Anna bukan tipe orang yang akan mengetuk tanpa alasan.
“Yang Mulia, Pangeran, Pangeran”
Anna terisak dan segera memegang kedua lenganku, yang spontan aku arahkan padanya.
“Tenang Anna, katakan padaku”
“Pa pangeran hilang” isakan Anna mulai kembali.
“Apa? Di kamar, apa tidak ada?”
“Tidak ada Yang Mulia, saya juga sudah menjadi kemanapun di istana tapi tapi Pangeran hiks tidak ada.”
Bagaimana bisa anak itu diculik tengah malam seperti ini? Kalau bukan pelayan atau kesa…
“Anna, bagaimana dengan Nia?”
“Hiks, saya sekamar dengannya tapi hiks dirinya tidak ada di kamar.”
Sialan kau Nia! Kalau tau akan begini sudah ku pecat dirinya.
“Sekarang, aku akan memerintahkan Laura agar para pelayan dan kesatria mencari Devian dan mengatakan ini pada Kaisar. Kau tetap disini, mungkin saja Devian akan kembali. Mengerti?”
“Baik Yang Mulia hiks”
Tenang Forsythia, tenang. Jangan terlalu larut dalam perasaan, mari kita selesaikan ini satu persatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Stepmother
RandomWarning, Red flag ML! Maylafaisha meninggal karena keselek mie dan ketika dirinya membuka mata BAAM! ia menjadi ibu tiri dari novel yang ia baca bernama Forsythia Harbell Valerie. Jika kehidupannya kali ini penuh kekayaan dan memiliki hidup yang pa...