Bagian Lima Puluh Enam

4.7K 583 51
                                    

Warning!

_Terdapat adegan yang mungkin tidak nyaman bagi beberapa pembaca_

***

Nerva berumur 12 tahun.

“Pangeran”

Seorang pelayan datang tergesa gesa.

“Apa karena Permaisuri?” seperti sudah biasa mendengar panggilan itu, wajah tanpa ekspresi Nerva tidak berubah.

“Benar Yang Mulia”

Mata hitam Nerva melihat ke arah tangan penuh luka dan lengan penuh lebam pelayan, membenarkan manset bajunya Nerva berdiri. Entah dari kapan, Nerva tidak terganggu dengan perasaan dan rasa sakit orang lain.

“HAHAHA”

“Yang Mulia”

AGGHHH

“Permaisuri”

Suara bersaut sautan datang dari dalam kamar, Nerva bisa mendengar teriakan dari jarak beberapa ruangan.

Ruangan yang dimasuki Nerva sekarang sangat berantakan, begitu juga keadaan Ibunya. Berbagai macam barang rusak tergeletak, dimulai dari meja, kursi, kaca, vas bunga dan anehnya ada sekumpulan rumput bersama akar dan tanah.

“Sudah berapa kali aku bilang jangan ada barang di kamar?” suara dingin menggema di seluruh ruangan, jika ada yang tidak melihat orang yang berbicara mereka mengira suara itu berasal dari orang dewasa, mengingat betapa gersang suaranya.

“Itu karena Permaisu…”

Plak

Pelayan yang ingin menjawab terhenti karena Permaisuri tiba tiba saja menamparnya.

“Kau bisa bersuara? Waahh Hahaha” mata kosong Permaisuri seperti tertarik dengan pelayan di sampingnya.

“Hentikan” Nerva memegang kedua tangan Ibunya.

“Siapa kau?” wajah bingung Permaisuri berubah begitu melihat wajah Nerva “Oh anakku? Mengapa kau tidak memanggiku Ibu?” kedua tangan Permaisuri ada di leher Nerva, mencekik sekuat tenaga hingga anak itu terjatuh.

Walau merasakan kesakitan, wajah Nerva tidak berubah. Tanpa ekspresi. Dingin.

“Ibu” suara yang dihasilkan pun tidak berubah, seakan ini hal biasa terjadi.

“Benar begitu, benar” sambil berkata, tangan Permaisuri lebih mengencangkan cekikannya di leher Nerva.

“Ugh” Nerva memegang kedua tangan Ibunya. “I-ibu sakit” mata Nerva terpejam tidak kuasa menahan cekikan Ibunya.

“Aku minta maaf”

Melepaskan tangannya, Permaisuri tiba tiba saja mengelus pucuk surai Nerva. Seolah benar benar menyayangi anak itu. Namun, ketika dirinya melihat mata hitam Nerva yang mengingatkan pada lelaki brengsek, kemarahannya meninggi.

Plak

Plak

Nerva yang tidak sengaja membuka mata sudah menduga akan ditampar atau dicekik karena Ibu sangat membenci mata hitamnya.

Anak berumur dua belas tahun itu langsung memegang kedua tangan Permasiuri. “Ambil obat” berbicara pada seorang lelaki dengan suntikan di tangannya.

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang