Bagian Tujuh Puluh

2.1K 178 12
                                    

Aku masih saja menatap jendela dan tak melakukan apapun. Kerjaanku kini hanya berbaring di kasur, menyerahkan badanku untuk sepenuhnya dibersihkan pelayan, makan tanpa tau apa yang akan masuk di mulut dan memperhatikan pemandangan luar jendela.

Sudah sekitar lima belas hari berlalu semenjak kematian Devian.

“Kau sudah makan?”

Dan Nerva sendiri selalu datang di saat yang tepat. Satu-satunya orang yang aku temui selain pelayan perempuan adalah Nerva. Dirinya juga selalu menyempatkan mampir di siang hari walau perkerjaannya pasti banyak.

“Sudah, kau bagaimana?”

Aku senang ketika melihatnya datang. Entah bagaimana aku hanya ingin berbicara padanya dari pada berbicara dengan pelayan atau kesatria baru.

“Ya, aku pun”

Aku tau dirinya berpura-pura.

“Siapkan makan untuk Yang Mulia” mengarahkan tanganku pada salah satu pelayan.

“Terimakasih. Aku merasa diperhatikan kalau begini” dirinya tersenyum sambil melihat ke arahku. Saat seperti ini yang aku suka.

“Kau harus lebih memperhatikan dirimu sendiri” aku mengambil cangkir dan menyeruput teh.

“Tidak, aku ingin selalu diperhatikan olehmu.” tatapannya masih bersemayam di wajahku. “Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Bukankah lebih baik kau fokus denganku?”

Baru kali ini Nerva berkata seperti itu. Biasanya ia hanya menanyakan apa yang aku makan dan kabar sehari hari. Apa rasa sedihku masih terlihat? Aku ingin melepaskan semua beban itu tapi sulit. Rasa bersalah itu semakin menghantui.

“Bagaimana kalau sesuatu terjadi padaku di saat kau masih berfokus dengan masa lalu? Toh, kau tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”

“Apa ini karena kau muak melihatku sedih terus?” aku tau, sudah pasti ada yang berubah dari diriku yang sekarang dan diriku yang dulu. Mungkin saja, Nerva sudah tidak menyukaiku karenanya.

“Tidak, aku akan terus menunggu sampai kau selesai. Tapi hatiku sedih setiap kali kau murung begini.” tangannya menggenggam tanganku, berharap diriku mendapat kekuatan darinya.

Aku menangis. Memikirkan betapa egoisnya aku hanya memikirkan kesedihan sendiri tanpa memberikan ruang untuk memikirkan Nerva.

“Ma-maaf”

“Tidak-tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Kau hanya perlu mengingat apa yang baru saja aku katakan.”

Aku mengangguk, ia mendekat kemudian memelukku. Selama beberapa saat aku menangis di dalam pelukannya.

Nerva dengan telaten mengelap bagian mata kemudian hidung dengan sapu tangan miliknya.

“Kau akan pusing jika menangis sekeras ini”

Aku tidak menjawab dan menyandarkan kepalaku yang memang pusing di pundaknya. Ia menyisir rambutku yang kusut.

“Apa yang kau inginkan? Aku akan melakukan apapun yang kau mau, asal bersamaku.”

Mata hitamnya melihat ke mataku. Tidak ada yang benar-benar aku inginkan saat ini.

Aku menggeleng “Tidak ada”

“Eeemm bagaimana kalau melihat kembang api?”

“Baiklah”

Apapun, aku akan melakukan apapun yang disarankan oleh Nerva. Seusai menjawab aku mengantuk dan membiarkan tubuhku di dalam pelukan Nerva.

Dua hari kemudian Nerva mengajakku ke sebuah bukit tak jauh dari istana.

“Untuk apa kita kemari?”

Be a Stepmother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang