78 ☠ Should There be Regrets?

122 4 0
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Hari ini merupakan hari penentuan.

Hari ini adalah hari dilaksanakannya hukuman eksekusi mati untuk Arkenzo Callisto dan Xalvador Yehezkiel.

Namun di hari ini juga, Kirei memilih mengurung diri di dalam rumah. Padahal semua sanak saudaranya hadir dalam pelaksanaan hukuman tersebut, tapi gadis itu malah enggan melihat dan enggan datang ke tempat.

Tidak, Kirei sama sekali tidak menyesal dengan keputusannya. Ia hanya tidak mau menatap wajah pembunuh kedua orang tuanya. Biarlah hari ini ia mengurung diri di rumah. Tidak peduli juga dengan gunjingan orang-orang. Toh, ini hidupnya. Suka-suka dia, kan? Lagipula, ada atau tidak adanya ia kan sama saja. Eksekusi itu akan tetap dilaksanakan.

Tok, tok, tok!

"Non, waktunya makan siang."

Kirei yang semula tengah menatap pemandangan taman rumah dari jendela kamarnya spontan menoleh dan menyahut. "Iya, Bi. Kirei turun bentar lagi!" serunya.

Seperti biasa, Bi Yanti akan memanggil Kirei dan semua orang jika waktu makan siang telah tiba. Ia memang tidak ada jadwal kuliah apapun hari ini. Maka dari itu ia santai-santai saja sejak tadi.

Setelah merapikan sedikit tatanan sprei dan menatap pantulan dirinya di depan cermin, Kirei segera keluar dari kamar menuju dapur. Di sana, ia bisa melihat Bi Yanti, Mang Asep, dan beberapa pekerja di rumahnya sudah stand by di meja makan. Senyuman manis Kirei berikan pada orang-orang yang telah bekerja dengan baik tersebut. Gadis itu tidak bicara banyak. Hanya menyapa, menanyakan kabar, lalu memimpin doa dan mulai makan.

Suasana ruang makan yang biasanya ramai itu kini menjadi hening. Semua pekerja di sana tahu kalau sang majikan muda mereka sedang tidak dalam mood yang baik. Senyuman manis dan sapaan hangat tadi hanyalah formalitas untuk menghargai mereka. Setidaknya, begitulah yang terlihat saat ini.

"Non Kirei, bagaimana dengan kuliahnya? Apakah lancar?" Bi Yanti yang memang tidak terbiasa dengan suasana hening seperti ini pun membuka suara.

Kirei sejenak terdiam, lantas mengulas senyum tipis pada wanita tua yang sudah dianggapnya nenek sendiri itu. "Lancar kok, Bi. Kirei masih bisa menghandlenya dengan baik."

Senyum teduh seketika terbit di bibir semua orang. Mereka tahu kalau sang nona muda mereka memang selalu setegar itu. Meskipun kadang kala akan menjadi sangat down bila ada hal-hal yang benar-benar menyakiti hati gadis malang tersebut. Seperti saat kematian kedua orang tuanya, dan saat fakta pembunuh kedua orang tuanya terungkap.

"Syukurlah ... kalau ada apa-apa jangan ragu untuk minta tolong sama temannya, Non. Tugas kuliah kan susah. Cucu Bibi sering mengeluh begitu," cerocos Bi Yanti. Wanita tua itu jadi teringat dengan cucunya yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah semester empat.

PSYCHO ELITE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang