Anara tengah menatap lekat wajah Zanetta yang tersenyum manis ke arahnya. Tangan kirinya terangkat mengusap lembut kepala sang gadis. Alice dan Elcie tak ada disana, gadis kembar itu dipaksa untuk masuk sekolah oleh kakak kandungnya.
"Ini sakit gak?" Tanyanya tak masuk akal,
"Lo berharap apa?" Timpal Zanetta menahan sedikit kekesalan.
"Harusnya lo jawab, 'Sakit kok, tapi gak sesakit kalo jauh dari kamu', gitu!"
"Ck! alay!" Zanetta berdecak seraya menahan tawa atas ke randoman gadis tersebut.
"Gue juga pengen di bucinin kali, Tta.." Timpal Anara sendu
"Kamu sebenernya kenapa sayang?" Zanetta mengusap lembut pipi Anara.
Deg!
Anara membelalak bahkan usapan tangannya di kepala Zetta pun terhenti. Zanetta membekap mulutnya agar tak mengeluarkan tawa yang ingin meledak melihat reaksi sang gadis.
"Tta, udah ya.."
"Hm?" Zanetta mengangkat kedua alisnya dengan tangan yang masih membekap mulut.
"Lo gak ada pantes-pantesnya kalo bucin!"
"Lo yang minta kan?"
"Cancel aja cancel!" Anara mengibaskan tangan di depan lehernya sendiri seraya memejamkan kedua matanya.
"Hahaha-ahh.. aww anjir sakit shh.." Zanetta meringis di sela tawanya yang meledak.
"Mampus! lupa diri kan lo!" Ujar Anara puas namun tetap mengusap tubuh Zetta berusaha meredakan kesakitan sang gadis.
"Keknya Love language gue Physical Touch deh, soalnya gue seneng banget kalo nyentuh lo kek gini!" Zanetta membelalak karena kini tangan Anara tanpa sadar menelusup masuk ke balik baju pasiennya dan mengusap belahan dadanya.
"Bego! lepas tolol!"
"Oh.. Kalo lo lebih ke Words Affirmation, ya?"
"Pala lo! ini gue beneran marah Nara!" Anara terkekeh kemudian menarik tangannya dari tubuh Zetta.
"Jangan marah-marah, lo lagi sakit. Cepet mati loh!"
"Ish lambe lo bener-bener ya!"
"Udah di bilang jangan marah-marah. Hiks.. daku terluka olehmu, dek.." Zanetta mendengus kesal karena kini Anara menundukkan kepala dan berbicara tak jelas.
Itulah keunikannya, meski kadang ia harus selalu menghela nafas panjang setiap kali berhadapan dengan si cantik Anara, namun entah mengapa justru baginya, tingkah random Anara itu langka dan membuat Zetta ingin mengawetkannya dengan air keras hoho.
"Jangan kumat dong, gue cape sumpah!"
"Oke, asal lo mau gue cium!"
"Senang hati aja gue mah.." Timpal Zetta dengan senyuman lebar. Anara bangkit dari kursinya, menundukkan wajah kemudian menyatukan bibir mereka.
Setelah di rasa cukup, gadis itu melepaskan pagutan bibir mereka, menatap manik coklat muda Zanetta dengan jarak yang masih sangat dekat.
"Gue kangen desahan lo kek kemaren, Tta.."
"Anaraaaa..!!" Zanetta kesal sekaligus malu, Anara tersenyum lebar dan kembali duduk di kursinya.
"Jadiin itu motivasi buat lo cepet sembuh, sayang.." Gadis itu mengedipkan sebelah matanya dengan genit membuat Zetta kini memalingkan wajah, menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Beralih pada si kembar, Alice dan Elcie yang kini berada di dalam kelas. Keduanya nampak sibuk mencatat tugas yang di berikan seorang guru di depan kelas. Suasana kelas pun nampak tenang hingga akhirnya terdengar suara bel menandakan waktu istirahat, para siswa dan siswi kini mengerang seraya meregangkan tangan mereka yang terasa pegal.
"Lanjutkan sampe bab 3, minggu depan kita ulangan!"
"Yahhh pak, masa ulangan lagi?" Keluh seorang siswa diangguki lemas murid lainnya.
"Bapak gak cape gitu bikin soal terus?"
"Minggu depan kita libur panjang. Itu lebih enak di denger gasih pak?" Guru tersebut menggelengkan kepala dan tersenyum oleh tingkah para murid, beliau membenahi barang bawaannya dan keluar begitu saja dari dalam kelas.
Alice menoleh kearah Elcie yang mendongakkan kepala dengan mata yang terpejam. Kedua alisnya bertaut, ia menggenggam tangan Elcie membuat si gadis menoleh padanya.
"Kenapa?"
"Gak tau tiba-tiba pusing aja" Timpalnya seraya memijat pelipisnya.
"Banget?"
"Engga juga sih"
"Mau ke kantin atau UKS?"
"Kantin aja, laper. Kuy.." Elcie bangkit dan menarik tangan Alice keluar dari kelas.
Langkahnya terhenti masih di ambang pintu kelas kemudian membalikkan tubuh ke arah belakang.
"Far, Chika, gas kantin. Gue traktir!" Kedua gadis yang di panggil namanya kemudian menoleh dan berlari kearah si kembar.
"Gaskeun.."
Alice dan Elcie tertawa kemudian kembali melanjutkan langkah menuju kantin.
"Biar gue yang pesenin, kalian mau apa?" Tawar Fara setelah mereka mendapatkan meja kosong.
"Gue pengen mie ayam + es jeruk" Timpal Elcie kemudian menoleh pada kembarannya.
"Gue nasgor ayam aja sama es teh manis." Ujar Alice
"Gue samain aja kek si El.." Fara mengangguk kemudian berjalan menuju stand makanan yang tak jauh dari tempat duduk mereka.
Seraya menunggu, ketiga gadis tersebut nampak sibuk dengan ponsel mereka, hingga tak menyadari bahwa seorang pria tampan berjalan kearah meja mereka dan menepuk pundak Alice.
"Alice ya?"
"Eh, iya?" Kaget Alice menatap si pria, Elcie hanya memperhatikan keduanya dalam diam.
"Gue Riki, boleh minta nomor lo?" Alice manatap si pria yang kini menyodorkan ponselnya, gadis itu melirik kearah Chika dan Elcie yang nampaknya tak peduli.
"Sorry.." Balasnya singkat membuat si pria paham dan berlalu pergi darisana.
"Kenapa gak lo kasih, Al?" Heran Chika, Alice menggeleng dan tersenyum.
"Not my type.." Balasnya berbisik seraya melirik Elcie yang tersenyum tipis namun pandangan si gadis masih tertuju pada ponselnya.
"Cih! jual mahal banget padahal obralan haha!!"
Seketika ketiga gadis itu menoleh kearah suara yang terdengar lantang, bukan hanya mereka namun para murid yang berada di sana pun ikut menoleh kearah suara tersebut.
"Anjing!" Geram Elcie, ia hendak bangkit namun Alice menggenggam tangannya dan menggelengkan kepala.
"Biarin aja El.."
"Iya El, perut gue kosong. Gak ada tenaga buat baku hantam" Ujar Chika malas kemudian mengacungkan jari tengah pada gadis-gadis yang menghina Alice tadi.
Elcie pasrah, ia kembali duduk di kursinya. Tatapannya tajam pada kelima gadis disana yang terlihat kembali membicarakan mereka. Alice mengusap lembut punggung tangan sang adik, menenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lamoera's (GxG) (COMPLETED)
أدب المراهقينBukankah hidup harus terus berjalan? ya, sebuah perjalanan dan bukan pelarian. Tenanglah, aku disini membersamai-mu, melangkah bersamamu dan akan ku pastikan kita sampai pada garis akhir yang menjadi pelabuhan terakhir kita.