Eps 33_ Di Hukum

14 4 2
                                    

Aku percaya bahwa ada kebahagiaan besar yang telah Tuhan siapkan untuk hidupku



"Gue gak bohong, Mir." Dara berbisik, menjadikan buku sebagai penutup gelak bibirnya yang terus mengeluarkan suara. Guru matematika sedang menerangkan di depan.

"Perempuan itu pasti saudaranya Kak Dio. Mereka mirip banget," ujar Dara kembali, memberi penjelasan lebih komplit.

"Bukannya Kak Dio anak tunggal?" tanya Mira, meladeni teman sebangkunya dengan sangat agresif. "Gue baru tau kalau Kak Dio punya saudara perempuan. Apa jangan-jangan Lo salah lihat?"

Jarak mereka sangat dekat, kira-kira 30 cm saja. Dara sang pencerita menggeleng kepala atas pertanyaan Mira. "Gue gak salah lihat," tukasnya yakin.

"Sebelumnya gue juga kayaknya pernah melihat wajah itu difoto keluarga besar Kak Dio. Terpajang dengan bingkai besar di ruang tengah. Apalagi, tiga hari lalu kalau gak salah gue papasan sama dia di depan toko alat musik."

"Sungguh?" Mira membola, nyaris tak bisa menahan suara. Sedangkan Dara, gadis itu mengangguk semangat.

"Gue yakin Kakaknya baru pulang dari luar negeri mungkin? Karena sewaktu gue ke rumah Kak Dio, perempuan itu gak ada!"

"Gue rasa juga gitu," kata Mira setuju.

Tiba-tiba Dara tersenyum penuh arti, pipinya bahkan memerah nampak merencanakan sesuatu. "Apakah ini yang dinamakan takdir?"

"Apa?"

"Takdir Mira!" seru Dara. "Gue harus melakukan pendekatan dengan saudara perempuannya Kak Dio agar mendapatkan restu. Iya, kan?" Dara meminta persetujuan adapun Mira terkekeh tak yakin.

"Kayaknya Lo pikir-pikir dulu, deh."

"Kenapa?" Dara mengernyit. "Sudah seharusnya gue---"

"Dara!"

"Mira!"

Tanpa mereka sadari guru yang mengajar sudah memperhatikan mereka sejak awal. Walau duduk dibarisan paling belakang, nasib naas tetap menggerogoti. Salah sendiri. Suara mereka terdengar hampir semua telinga yang ada di kelas, bahkan gelagat keduanya nampak sangat mencurigakan dengan buku sebagai penutup.

"Dari tadi saya perhatikan kalian berdua mengobrol saja," tukas guru matematika galak. "Sudah paham materi kalian?"

Mira dan Dara menunduk. Saling menyenggol satu sama lain. Sekarang, mereka berdua berdiri di tempat.

"Atau kalian saja yang mengajar," lanjutnya mengecam. "Kenapa hanya diam?"

Tidak biasanya atmosfer dalam kelas secanggung ini. Baik Dara ataupun Mira nyaris kesulitan bernapas apalagi kala guru killer yang terdengar sering memberi nilai C mendekati keduanya.

"Keluar kalian berdua!"

"Maaf, Bu." Secara bersamaan keduanya meminta maaf. Akan tetapi, kali ini tidak ada ampun. Dara dan Mira terpaksa meninggalkan kelas dan 95 persen mereka akan mendapatkan surat panggilan orangtua. Entah sudah keberapa kalinya untuk Dara dan beberapa kali bagi Mira.

Matilah Dara. Habislah Mira.

***

"Lo, sih, Dar. Ngajak gue ngobrol terus, kita jadi di usir, kan?!" Mira meringis, membayangkan betapa marahnya ayah dan ibunya mengetahui Mira kembali mendapatkan surat peringatan dari sekolah. Memalukan.

SURAT CINTA UNTUK DARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang