Eps 74_ Irama Dipanggung Sandiwara

11 4 14
                                    

Kamu akan selalu aku bicarakan, senantiasa abadi dari mereka yang mencoba mendekat.
_Dio_









Bagian pedihnya begini. Dara masih punya Ayah, tapi ia tak bisa memanggil pria itu dengan sebutan Ayah lagi. Dara dan ayahnya masih hidup di dunia yang sama, menghirup udara yang sama, bahkan di kota yang sama dalam waktu yang lama. Tapi, ia tidak bisa bertemu dengan ayahnya. Bagian ketiga, Dara ingin merasakan peran ayah dalam setiap prosesnya, tapi sekarang, ia benci pada orang yang disebut dengan Ayah itu.

"Sudahlah, Kak. Dara gak mau bahas yang sedih-sedih lagi. Cuma mau pulang, tidur, dan tenang. Mungkin cuma itu untuk hari ini."

Dio menggeleng, dengan sepasang mata yang nyaris membuat dua buah garis dan senyum manis di bibirnya.

"Kalau mau sedih-sedih lagi, ajak gue, ya, Dar."

Memang aneh. Dio tipekal manusia yang menurut Dara semakin dikenal dekat semakin aneh. Sama seperti dirinya. Bukannya memberikan kalimat semangat atau setidaknya kalimat motivasi agar Dara terhibur atas fakta mencekik barusan, lelaki itu malah mengeluarkan lelucon.

Alih-alih mengatakan, 'Yang sabar, Dara. Bagaimanapun juga, dia Ayahmu. 'Yang sabar, Dara. Tuhan memilih kamu karena Tuhan tahu kamu kuat. Atau yang lebih parah lagi, 'Tuhan itu baik, tak mungkin memberi cobaan diluar batas kemampuan umatnya. Maafkan, ikhlaskan, dia tetap Ayahmu.'

Memang, tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat seperti itu. Semua itu memang benar. Namun, ada saatnya seorang manusia tak ingin mendengar hal demikian alih-alih didengarkan saja keluh kesahnya. Perihal manusia, bukankah lebih mudah mengucapkan alih-alih merealisasikan makna?

Mau bagaimana lagi, namanya juga manusia. Selain tak luput dari dosa, manusia hanyalah ciptaan. Tak sempurna, kadangkala egois, dan seringkali menyalahkan takdir.

"Kenapa harus ngajak Kak Dio?" tanya Dara ingin tau.

"Biar sakitnya dibagi. Apa pun yang dikerjakan bersama-sama, pasti lebih cepat selesai," jawab Dio seadanya.

"Kata siapa?"

"Kata gue, barusan."

Dio menoleh hanya untuk melihat Dara meretuk, ia senang Dara tidak menangis untuk hal yang satu ini, tapi ia juga sedih karena sekali lagi, ada kenyataan yang membuat gadis itu terluka.

Terkuaknya kebenaran bahwa ternyata Ayah gadis itu menikah dengan Ibu dari sahabatnya, Rio. Sumpah demi apapun, Dio tidak tau apa-apa. Ia pun sama terkejutnya dengan penuturan Dara yang mengatakan pria yang tadi menghampiri Rio dan Kara adalah ayahnya.

"Yang satu ini konsepnya beda, Kak Dio."

"Gak ada yang beda. Kerja tim itu baik!"

"Tapi kita bukan tim."

"Jadi apa?"

"Beda kasta!" seru Dara.

Dio dan Rio sudah berteman lama. Namun begitu, sebagaimana Dio yang menjaga baik privasi keluarganya, Rio pun tidak jauh berbeda. Memang, Rio masih sering memposting kebersamaan keluarganya. Mulai dari liburan, piknik, makan malam di hotel bintang lima, berkemah di depan rumah, memberi surprise party birthday, bahkan seperti yang tadi mereka lihat. Jalan-jalan ke taman bersama adik dan ayahnya. Sudah bisa dikatakan keluarga cemara bukan?

SURAT CINTA UNTUK DARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang