Begitulah kehidupan. Kita tidak bisa meminta rahim mana yang akan melahirkan kita dan rahim yang melahirkan kita juga tak pernah tau anak seperti apa yang akan ia lahirkan.
Sejujurnya Dio sendiri meruntuki diri mengapa ia melakukan hal yang sama sekali tidak ingin ia lakukan ketika ia yang harusnya berada di rumah malah seperti orang tak punya tujuan. Sejak bel pulang sekolah berbunyi, Dio bertekad mengikuti Dara. Entahlah, ada rasa yang tak mampu ia jelaskan tapi yang pasti, Dio merasa tidak enak pada gadis itu setelah semua yang ia utarakan.
"Kapan Kak Dio bisa suka sama Dara?"
Membuntuti Dara sampai ke Butik yang gedungnya tidak terlalu besar merupakan suatu kejanggalan. Dio menunggu lebih dari lima belas menit di dalam mobil, menunggu hal yang tidak pasti padahal sudah jelas bahwa Butik ini milik keluarga Dara dan gadis itu pasti aman di dalamnya.
Kala akal sehat muncul, Dio akhirnya berpikir untuk pulang saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Akan tetapi belum saja ia memasang sabut pengaman, Dara keluar dari butik tersebut.
Masalah utamanya gadis itu menangis. Ya, menangis tersedu-sedu dan Dio bisa melihat semuanya dengan jelas. Dio tanpa pikir panjang menghampiri Dara, memastikan bahwa apa yang ia lihat bukanlah sebuah imajinasi.
"Dara?"
"Kak Dio....,"
"Kenapa, Dara? Apa yang terjadi, hm?"
Untuk pertama kalinya Dio membiarkan Dara berlama-lama dalam pelukannya, membiarkan air mata gadis itu membasahi seragam sekolahnya. Dara masih enggan melepas, napas gadis itu terdengar tersengal-sengal. Sesak sekali rasanya melihat anak itu bernapas.
"Dara...," Dio pelan-pelan merenggangkan jarak di antara mereka, menangkup pipi Dara.
"Kita pulang, ya." Ada beberapa orang menatap ke arah mereka, para pelanggan yang kebetulan ingin belanja juga melakukan hal yang sama.
Dio tidak ingin menjadi pusat perhatian, membawa gadis itu ke suatu tempat dengan harapan Dara bisa lebih tenang untuk menjelaskan semuanya.
***
Lebih dari dua puluh menit Dara masih tak kunjung berhenti menangis. Memang tak lagi terisak, tapi air matanya masih terus mengalir. Wajahnya memerah, matanya juga jadi bengkak.
Dio tidak menyangka bahwa menghadapi Dara yang sedang tantrum tak ada apa-apanya dibandingkan menghadapi Dara yang sedang menangis.
Pandangan Dara kosong, sebotol minuman yang Dio berikan padanya berakhir dengan tidak disentuh sedikit pun.
"Minum dulu, Dara. Biar lebih enakan," ucap Dio memberanikan diri mengajak Dara bicara. Dio terlampau kaku, ia paling tidak bisa membujuk seseorang dengan cara yang manis. Seperti sekarang ini.
Dio memang tidak tau masalah apa yang membuat Dara menangis seperti ini. Tapi apapun itu, Dio seakan-akan bergabung di dalamnya. Seolah-olah ikut merasakan sakit yang Dara rasakan. Ternyata aura kesedihan dari seorang Dara juga tersalurkan padanya yang berada di samping gadis itu.
Mengapa sakit sekali melihat gadis ini menangis? Sungguh, sakit sekali.
"Dara gak ingat rasanya punya Ayah itu kayak gimana, Kak. Dulu Dara masih kecil, belum tau apa-apa termasuk kalau Papa pergi meninggalkan Dara sama Mama. Dara terbiasa hidup dengan hanya punya Mama, sama sekali gak dapat peran dari seorang Ayah di saat teman-teman Dara bercerita betapa hebatnya Ayah mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT CINTA UNTUK DARA
Ficção AdolescenteDara, siswi kelas XI IPS 2 terang-terangan mencintai kakak kelasnya yang cukup populer. Segala cara Dara lakukan untuk mendapatkan perhatian lelaki misterius yang telah memiliki kekasih itu, hingga suatu hari Dara menemukan fakta mencekik mengenai D...