Eps 35_ Pameran Seni with Kak Dio

12 4 8
                                    

Walau memang palsu, terima kasih telah membuatku merasa dicintai.


Akhirnya Dio tetap menepati janjinya pada Dara. Membawa gadis itu berkeliling, menikmati indahnya pameran seni rupa di salah satu Balairung kota, dekat alun-alun. Pada dasarnya Dara begitu sangat menyukai seni, tak jauh berbeda dengan Dio. Itulah alasan mengapa mereka berdua terkagum-kagum pada setiap bagian indah yang mereka tangkap oleh mata.

Sayangnya, waktu mungkin salah. Dio mati-matian menahan nyeri sedangkan Dara terlihat begitu aktif. Tidak lelah, Dara heboh kesana-kemari, bibirnya tak berhenti memuji, langkahnya cepat melupakan Dio yang tertinggal di belakang.

"Wah, bagus banget!" Dara mengerat lidah, bingkai besar bergambarkan bunga raflesia yang sedang dilukis oleh seorang perempuan pada sebuah hutan yang dikelilingi pohon rindang. Sunyi sekali, namun begitu indah. Pelukisnya memang keren.

"Kak Dio, sini." panggil Dara, dari jarak tak begitu jauh Dio menghampirinya. "Lihat, bagus, kan, Kak?" tanya Dara meminta persetujuan. "Yang ini juga bagus banget." Kemudian menunjuk gambar yang lain.

"Wah, aku iri sekali. Pada pelukis memang keren," ucap Dara, mengitari sekeliling dengan sorot mata kagum.

"Kak Dio!"

"Iya, Dara?"

"Sini, kita ke sana lagi. Ada yang paling bagus!"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Dara berjalan lebih dulu. Tadi di kelas, Dara berkhayal akan menikmati seni sambil mengandeng tangan Dio. Namun sampai di sini, Dara terlihat menikmati semuanya sendirian. Meninggalkan Dio di belakang, tak menyadari betapa lelahnya Dio sekarang. Kalau bisa memilih, Dio lebih baik mengerjakan ribuan tugas fisika daripada merasakan sakit ini.

Dio berusaha mengejar langkah Dara, berjalan normal meski punggungnya nyaris retak. Di sini banyak orang, Dio menyakinkan diri bahwa ia bisa kuat setidaknya sampai keluar dari area pameran.

"Kak Dio foto di sini, yuk!" Walau pandangannya mulai samar, suara Dara masih terdengar jelas. Gadis pendek itu berlari kecil mendekatinya, menarik tangan Dio tanpa aba-aba. Alhasil, Dio mengira punggung bagian belakangnya sudah sepenuhnya bertas.

"Kakak bawa handphone, gak? Kita harus foto di sini, kayak orang-orang gitu. Pasti aesthetic," kata Dara berbinar-binar.

Dio tak langsung menjawab, kali ini kepalanya sudah lebih sakit dari sebelumnya. Dio memejamkan mata, menetralisir racun-racun yang menggerogoti tubuhnya. Sakit. Sakit sekali.

"Kak Dio---" Dara bungkam, kala sepenuhnya rotasi matanya ada pada Dio, Dara hampir tak bisa berbicara. "Kak Dio sakit?" tanyanya.

Dio membuka mata, lalu menggeleng lemah. "Tidak, Dara."

"Tapi Kakak pucat banget, bibir Kakak juga pecah-pecah gitu," kata Dara bergetar, gadis itu seketika takut. Tangan Dio yang sedari masih dipegangnya juga dingin, berkeringat. Dara baru menyadarinya.

"Kita pulang---"

"Ayo kita foto," ucap Dio memotong ucapan Dara. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Ayo, Dara."

Akan tetapi, Dara tak bergerak sama sekali. Pandangannya tak lepas dari Dio. Dara tau Dio pasti menahan sakit, wajah itu sudah cukup menjelaskan.

SURAT CINTA UNTUK DARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang