Kenangan akan selalu abadi tak peduli dengan siapa, pada siapa, di mana, atau bahkan kenapa. Namanya saja sudah kenangan, ia abadi sebab sudah dilalui entah indah atau tidak.
Dara meneteskan air matanya lagi. Gadis itu masih di tempat yang sama, tempat di mana Dio mengatakan agar Dara menunggu. Sudah lebih dari satu jam, Dio tak kunjung kembali.
Mengusap sudut matanya, Dara menahan diri.
"Sabar, Dara. Sebentar Kak Dio bakal kembali," kata Dara menguatkan diri.
Jujur dari hati yang paling dalam, Dara tidak peduli dengan dirinya tapi pada Dio. Alih-alih mengkhawatirkan diri sendiri karena hari sudah mulai sore dan Dara tidak tau harus pulang dengan apa sebab sepedanya ditinggal di sekolah karena ia kemari menggunakan mobil Dio. Gadis itu, ia memikirkan Dio. Lagi dan lagi.
Apakah lelaki itu baik-baik saja? Kenapa ia tidak kunjung kembali? Dara tak tau bahwa Dio meninggalkannya, ia yakin Dio pasti kembali.
Sayangnya, seperti cinta yang tak kunjung dibalas, Dara menemukan bahwa ia duduk seorang diri. Tidak ada tanda-tanda kembalinya Dio meski sudah menunggu lama.
"Dara!" Seseorang memanggil namanya, bukan Dio melainkan Rio. Lelaki itu mencari Dara kesana-kemari setelah menerima pesan dari Dio. Rio segera tancap gas seperti permintaan sahabatnya. Adapun Dio, ia mungkin sudah terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit.
"Tolong jemput Dara."
"Kalian di mana? Lo kenapa? Semua baik-baik saja?"
Rio balik mengirimi Dio pesan, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Alhasil, Rio langsung menelpon sahabatnya itu. Suara rintihan sakit beradu dengan setir mobil yang dipaksa berjalan. Klakson lalu lintas menyapa, dengan begitu Rio tahu bahwa Dio memaksakan diri ke rumah sakit dengan kondisinya yang sudah sangat lemah.
Rio hanya bisa berharap Dio sampai di rumah sakit dengan selamat. Setelah memastikan Dara sampai rumah dengan kondisi tanpa kekurangan suatu apapun, Rio akan langsung melaju ke rumah sakit. Memastikan bahwa sahabatnya masih akan ada. Ya, ada.
"Kak Rio." Dara berdiri, kakinya gemetar. Gadis itu juga menggigit kuku-kukunya, menahan isakan. "Tadi Kak Dio nyuruh Dara nunggu di sini, tapi Kak Dio gak kembali juga."
"Iya, Dar. Kita---"
"Kak Dio tadi kurang enak badan, tangannya dingin, wajahnya juga pucat. Tadi Kak Dio pergi ke arah sana," tutur Dara kembali, menunjuk ke arah Dio pergi meninggalkannya satu jam lalu.
"Kak..., tolong cari Kak Dio. Kak Dio sakit, Kak." Akhirnya, gadis itu menangis juga. Pipinya basah dengan air mata, keningnya berkeringat. Pertahanan Dara runtuh.
Rio terkejut, baginya lebih baik menghadapi Dara yang hiperaktif daripada Dara yang menangis seperti ini. Rio tidak pernah berpikir seorang Dara ternyata bisa menangis, tangisannya bahkan mengundang orang lain termasuk Rio seolah merasakan sesaknya.
"Tenang, ya, Dar." Rio menepuk-nepuk pundak Dara lembut. "Jangan nangis," kata Rio, sungguh ia tidak tau caranya membujuk orang yang sedang menangis. Apalagi, Dara semakin menangis setelah ia berkata-kata.
"Kakak antar kamu pulang, ya."
Dara langsung menolak. "Tapi Kak Dio?" tanyanya. "Kak Dio gimana, Kak? Tadi Kak Dio nyuruh Dara nunggu di sini, Dara gak mungkin ninggalin Kak Dio. Kakak bantu Dara cari Kak Dio ke sana, ya, Kak. Aku takut...aku takut Kak Dio pingsan makanya gak kembali ke sini. Ak-aki mau nyari ke sana.... tapi aku taku-- aku takut Kak Dio pingsan atau selebihnya. Dara gak bisa lihat Kak Dio sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT CINTA UNTUK DARA
Teen FictionDara, siswi kelas XI IPS 2 terang-terangan mencintai kakak kelasnya yang cukup populer. Segala cara Dara lakukan untuk mendapatkan perhatian lelaki misterius yang telah memiliki kekasih itu, hingga suatu hari Dara menemukan fakta mencekik mengenai D...