|29|

768 85 1
                                    


Sebuah pernyataan yang Alvin pendam selama ini mulai keluar sedikit-demi sedikit, namun yang Alvin rasakan bukan ketenangan dalam dirinya tetapi merasa ucapan yang keluar dari hati dan mulutnya adalah sebuah kesalahan.

Seharusnya Alvin tidak mengeluarkan pernyataan apapun kepada Dr. Farlan, benteng yang di bangun selama ini rapuh seketika hanya dengan pertemuan pertama dan pertanyaan yang membuat Alvin memberi tahu luka yang sebenarnya yang di rasakan.

"Ma--maaf maksud Alvin..".

Kedua tangan Alvin bergetar mengepal dengan erat menahan emosi, air mata yang sudah mengalir tanpa isakan dengan mata yang kosong entah memikirkan apa.

"Its okay.. Alvin dengar dokter?".
Dr. Farlan mengusap kedua tangan Alvin pelan memberikan efeksi, dan itu berhasil membuat Alvin menatapnya.

"Tangannya enggak boleh kaya gini, ini sakit pastikan?.. Tuh ini udah ada lukanya".

Dr. Farlan membuka kepalan tangan yang mulai mengendur ucapan lembutnya dapat mengendalikan Alvin ini adalaha hal yang positif, Alvin sendiri baru menyadari ternyata memang di telapak tangannya terdapat luka kecil akibat kukunya sendiri.

"Alvin hanya butuh pegangan, bukan menyakiti diri sendiri". Mengusap kedua tangan Alvin untuk membuatnya lebih tenang.

"Enggak apa-apa Alvin merasa kecewa, marah atau kesal itu merupakan rasa yang menandakan kalau Alvin adalah seorang manusia. Luapkanlah secukupnya jangan sampai semua itu di pendam dan menjadi bom waktu untuk kamu sendiri".

Dr. Farlan berdiri dari duduknya memeluk Alvin dengan lembut mengusap puggung yang bergetar, keluar sudah isakan tangis yang di tahannya dari tadi mulai membalas pelukan dari Dr. Farlan.

Kasus Alvin seperti ini hanya butuh seseorang mendengarnya bercerita, tanpa menyudutkan untuk menyalahkannya karena setiap ia bercerita terdapat sakit yang di rasakannya.

"Sudah tenang hem?". Dr. Farlan menatap wajah Alvin yang memerah, hanya di balas anggukan dengan isak tangis yang masih terdengar.

"Dokter tahu Alvin masih ragu bercerita, mungkin karena ini baru pertemuan pertama kita tapi..--".

"Seharusnya Alvin enggak cerita, ini salah.. Dokter bukan siapa-siapa Alvin".

"Memangnya kenapa kalau Alvin cerita ke dokter?". Pertanyaan Dr. Farlan tak ada jawaban dari Alvin.

"Gimana kalau kita buat kesepakatan, apapun yang kamu ceritakan itu hanya akan sampai di dokter orang lain tidak ada yang tahu?".Tawaran yang membuat Alvin menatapnya Dr. Farlan menunggu respon baik dari Alvin tapi ternyata hanya gelengan dari Alvin.

"Alvin engga butuh kesepakatan apapun, i--ini cukup Alvin aja".

"Baiklah kalau mau begitu".

Dr. Farlan tidak bisa menekan dan memaksa pasiennya untuk bercerita apalagi ini pertemuan pertama mereka, karakter Alvin memang terlihat mudah terpancing akan pembicaraan dan mengeluarkan semua kekesalannya. Namun, setelah itu dia akan menyesali ucapannya sendiri tersirat setiap ucapan di akhir cerita seperti merasakan ketakutan akan efek dari ucapannya.

Dr. Farlan masih berdiri menatap Alvin yang berbaring dengan mata yang lurus kedepan entah apa yang dilihat menjadi fokus Alvin sekarang.

Clek

Suara pintu terbuka bersamaan dengan masuknya sang Bunda yang membuat sekujur tubuhnya menjadi dingin, Dr. Farlan masih memperhatikan setiap gerak-gerik dari respon tubuh dan raut wajah yang berubah.

"Hai tante!". Menyapa Lisa "Oh ya udah mau habis infusannya saya copot dulu, tahan sebentar oke".

Ucapannya masih tak di gubris Alvin masih menunduk, membiarkan tangan kanannya di lepaskan infus oleh Dr. Farlan. Meskipun dirinya seorang spikiater tetap saja ada ada gelar Dokter dalam jabatannya membuka atau memasang infusan adalah hal yang dasar baginya.

ALvInTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang