|34|

608 73 13
                                    

Lisa berjalan menghembuskan nafasnya pelan memberanikan diri mendekati sofa dan duduk di sebelah Alvin yang memejamkan mata, namun Lisa yakin anak bungsunya itu tidak tertidur dapat dilihat tautan tanggannya yang tak diam.

"Alvin". Panggil Lisa kedua mata Alvin terbuka menatap sang bunda.

"Alvin engga mau sama Dr. Farlan, Alvin butuh bunda bukan orang lain ". Ucapan itu kembali terulang terdengar di telinga Lisa, tangannya menggenggam tangan Alvin.

"Kenapa bunda engga ngerti? Alvin mau ceritanya ke Bunda bukan sama orang lain, apalagi Dr. Farlan teman dekatnya Bang Raka. Nanti bang Raka malu punya adik kaya Alvin harus terapi ke spikiater". Raka yang mendengar itu masih diam mengamati dari jauh memberikan kesempatan untuk bundanya.

"Bunda mau aku jujurkan.. banyak pertanyaan muncul yang buat Alvin kaya gini". Lisa mendengarkan seksama apa yang di ucapkan Alvin tanpa menyela.

"Bunda kenapa ninggalin Alvin sama Ayah? Alvin punya salah ya sama bunda? Atau sama Ayah? Alvin salah apa sebenarnya? Salah Alvin sebesar apa sampai-sampai bunda enggak mau ketemu Alvin?". Bertanya beruntutan

"Sikap Ayah kasar berarti Alvin melakukan kesalahan besar, salah Alvin sebesar apa sampai-sampai bunda juga enggak mau ketemu Alvin?". Sorot mata yang sudah berkaca-kaca tak berani menatap Lisa.

"Aku tahu Bunda suka kerumah Opa Zaf di bandung itu kata Om Lingga, Alvin nunggu bunda untuk di jenguk ke rumah tapi yang Alvin tunggu-tunggu ternyata Bunda enggak datang".

"Kalau iya Alvin melakukan kesalahan, penyebab Bunda sama Ayah pisah.. Alvin minta maaf". Suara Alvin bergetar dengan kedua mata menatap Lisa.

"Enggak.. Alvin enggak salah disini Bunda sama Ayah yang salah, kamu bukan penyebab Ayah sama Bunda pisah jangan berpikir jauh kesana". Bantah Lisa

"A-Alvin selalu nunggu bunda buat datang hiks.. bunda kemana?". Air mata itu seketika tak bisa Alvin tahan.

"Maaf karena bunda belum mengikhlaskan semua yang terjadi, Alvin enggak punya salah apapun sama Bunda ataupun Ayah ingat itu". Tegas Lisa dengan mengusap helian rambut Alvin.

"Dengarkan bunda.. Ayah sebenarnya sayang sama Alvin, kamu itu bungsu yang di tungu-tunggu kedatangannya. Alvin belum tahukan mengenai hak asuh?". Kedua alis Alvin mengkerut mendengarkan ucapan bundanya.

"Waktu bunda sama ayah pisah sebenarnya hak asuh Rakalah yang di terima Ayah, ketentuan sebenarnya kamu masih di usia 10 tahun menurut hukum hak asuh Alvin harusnya bersama Bunda". Ucapa Lisa tenang menghembuskan nafas pelan memejamkan mata agar ia sanggup bercerita.

"Namun Ayah mempertahankan bahwa dia layak merawat Alvin kamu itu anak yang paling di tunggu kehadirannya, anak bungsu yang akan di manja oleh nya. Segala cara apapun Ayah kamu tempuh demi hak asuh Alvin di tangannya". Lisa tersenyum getir menatap Alvin dengan air mata tak henti keluar.

"Dan usahanya berhasil meyakinkan bahwa layak untuk merawat Alvin, bersamaan dengan keputusan itu bunda terlalu tenggelam dalam kesedihan mungkin ini jalan terbaik untuk Bunda sama Ayah. Sepenuhnya bunda percayakan Alvin pada Ayah, dan fokus bunda merawat Raka dan Dava".

"Butuh keikhlasan untuk menerima semua itu, bunda butuh keberanian kembali untuk mengingat masa dimana kekecewaan itu datang dimana Ayah mengambil hak asuh Alvin".

"Maafkan bunda yang enggak punya keberanian untuk ketemu sama Alvin".

"Maafkan bunda udah memilih jalan yang salah buat Alvin".

Setelah semua terdengar bagaimana Lisa dengan lembut menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi, terdengarlah tangisan lirih menyayat hati dari Alvin teredam di pelukan sang bunda.

ALvInTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang