Chapter 2

18K 714 27
                                    

Happy Reading semua.

😊😀😁

Semoga terhibur

***


Bel pulang sudah berbunyi dari sepuluh menit yang lalu, kelas sudah sepi, hanya Gaby yang masih diam tak berkutik dari mejanya, Ia memandangi hasil ulangan matematikanya tadi pagi yang turun drastis.  Biasanya, Gaby dapat nilai 100 sekarang hanya 98. Gadis itu melihatnya dengan tatapan kecewa bercampur kesal.

"Sial!" gadis itu meremas kertas itu sekuat tenaga, lalu melemparnya ke tong sampah yang berada di dekat pintu masuk, tak jauh dari mejanya. Ia tak peduli kertas malang itu berhasil masuk atau tidak.
Gadis berambut sebahu yang dikucir kuda itu memasukan bukunya ke dalam tas dan bangkit dari tempat duduknya, berjalan keluar kelas, semua siswa sudah pulang hanya tinggal beberapa anak pramuka yang hampir tiap hari rapat dadakan yang entah apa saja yang mereka bicarakan. Yang kalau setiap hari ada saja pemangilan dengan cara seperti ini.

"Untuk seluruh anak pramuka di harapkan berkumpul di ruangan osis"

Dan juga masih ada anak-anak basket yang akan mengadakan pertandingan besok siang di lapangan sekolah mereka.
Gaby berjalan pelan tanpa menghiraukan getaran ponselnya yang sedari tadi bergetar di saku rok seragam sekolah yang dipakainya, siapa lagi kalau bukan Caca, kakak sepupunya yang sudah menunggunya di depan gerbang dengan wajah kesal, adiknya itu juga belum muncul padahal sekolah sudah sepi ditambah lagi dengan terik panas matahari membakar kulitnya dan keringat bercucuran di dahinya, membuat ia ingin segera kabur dari tempat itu, ia melirik ke arah lapangan sekolah, berharap orang itu muncul secepat mungkin. Beruntung, dari arah kejauhan Gaby muncul dengan langkah gontai, tanpa rasa bersalah. Caca menatap cewek itu geram. Ia heran kenapa ia punya saudara seperti Gaby yang selalu molor jam pulang. Apalagi akhir-akhir ini.

"Gab, kenapa lama banget sih, lo?" teriak Caca kesal, ia sudah tidak sabaran untuk mengomeli cewek itu. Gaby sudah tak jauh dari gerbang sekolah tempat biasa pak Rahmat menjemput mereka.

Gaby diam seolah tak peduli dengan teriakan Caca Itu, ia masih berjalan pelan ke arah Caca yang sudah semakin menatapnya dengan tatapan super kesal. Lalu Gaby masuk ke dalam mobil tanpa rasa bersalah sedikit pun telah membuat Caca menunggu lama.

"Kenapa?"

"Nilai lo, turun lagi?" tebak Caca, sambil ikut masuk dan duduk di samping Gaby. Gaby menarik napas berat menghembuskan perlahan, mengangguk lemah. Caca memajukan mulutnya kesal, ia sudah bisa menebak ini, setiap kali Gaby terlambat keluar kelas, pasti karena nilai. Ia heran, Gaby tidak pernah puas dengan juara umum yang diperolehnya.

"Biasa aja dong Gab." ucapnya kesal. Gaby menoleh jengkel, bagaimana mungkin Caca bilang biasa saja, padahal ia sendiri sudah seperti orang gila karena beberapa angka saja yang kurang.

"Menurut gue, itu nggak biasa." jawabnya jutek.

"Emang nilai lo kurang berapa lagi, dari angka seratus?"

"10, 9, atau 8." Caca mencoba menebaknya. Gaby menggeleng manyun.

"Dua." jawabnya manyun refleks membuat Caca tertawa.

"Haha, Cuma dua, oh my god. Gaby,"

"Cuma dua doang... Gab!" Caca menggeleng heran, hanya karena dua angka saja saudaranya itu sudah seperti orang mati.

"Yah beda lah, gue GABY dan lo CACA." jawab Gaby jengkel dengan nada penuh penekanan pada nama dirinya dan Caca. Ia mulai memasang muka super jutek, menatap lurus ke depannya, pikirannya kosong. Dari raut wajahnya sudah bisa ditebak, kalau cewek bermata bulat, cantik,  jarang senyum itu cukup cuek dan jutek. Peraih juara Umum dua di sekolahnya. Rajin, serius, ia hanya bicara jika ada perlunya saja.

Berbeda dari Gaby, Caca adalah cewek ramah, cantik, punya banyak teman. Ia berbanding terbalik dari Gaby.

Caca masih menggeleng heran melihat Gaby yang mulai diam, itu tandanya ia lagi fokus memikirkan sesuatu. Pak Rahmat yang sedari tadi menyetir mobil hanya tersenyum samar melihat keduanya, yang hampir tiap hari perang dunia. Selalu beda pendapat, beda pikiran, tidak pernah kompak.
Gaby membulatkan matanya, satu ide terlintas di benaknya, melirik Caca sedikit tersenyum.

"Ca...Gimana kalau gue pindah kelas?"

"Oma nggak bakal masalah, kan?" tambahnya serius. Caca langsung menatapnya bingung.

"Kenapa? Lo nggak suka kelas Excellent itu? bukannya dulu lo pengen banget masuk di sana." tanya Caca dengan nada cepat. Ia tidak bisa menebak isi kepala saudaranya itu.

"Iya, tapi itu dulu, gue nggak suka satu kelas sama Alva, dan hasil ulangan matematika gue hancur, gara-gara dia." jawabnya Gaby kesal, memasang muka manyun. Caca tersenyum, paham. jadi karena Alva, cowok yang jadi lawan beratnya itu ia mau pindah.

"Eittts, cuma itu, baru dua minggu juga lo udah nyerah?" sahut Caca tertawa. Gaby makin manyun melihat Caca yang malah tertawa mendengar keluhannya.

Benar saja, kelas Excellent yang dia idam-idamkan sejak SMP itu akhirnya dia capai, tapi pikirannya jadi kacau dan konsentrasi nya benar-benar hilang setelah masuk di sana, kelas yang sangat ia idamkan selama ini tak seperti yang ia bayangkan, kelas itu jadi seperti neraka baginya, apalagi kalau melihat Alva di sana, otaknya jadi tambah kacau dan tidak bisa berkonsentrasi penuh, sampai-sampai ulangan Fisika dan Matematikanya jadi turun drastis. Kalau tetap seperti ini kuliah impian ia di Oxford akan hancur berantakan.

Rizky Alvaro, biasa disapa dengan sebutan Alva itu, siapa yang tidak kenal dengan cowok satu ini, peraih juara umum satu yang menjadi saingan berat Gaby, tak cuma ganteng, baik dan ramah, ia juga cukup dewasa untuk anak seusianya. Alva juga kapten basket sekolah, Ia punya banyak fans garis keras.

***

Alva, Rayn, Baim, beserta anggota tim basket lainnya baru saja usai mengadakan rapat, mengatur strategi untuk pertandingan besok melawan sekolah tetangga mereka.

"Al, gue duluan yah, nyokap gue udah nungguin soalnya." ucap Rayn tersenyum sambil melirik ke jam yang melingkar di tangannya. Berjalan mendahului Alva masuk ke dalam kelas mereka.  Alva mengangguk, mengikuti Rayn masuk.

"Oke, hati-hati yah." ucapnya serius, Rayn mengangguk, meraih tasnya dan beranjak pergi dengan langkah cepat.

Alva ikut  mengambil tasnya yang di gantung di sandaran kursi dan berjalan keluar, tapi langkahnya mendadak terhenti ketika kakinya menginjak gulungan kertas, Alva menoleh, mengangkat kakinya, melihat gulungan itu dengan alis terangkat, Alva menunduk dan memungut gulungan kertas itu dan dengan sedikit penasaran, ia lalu membukanya.

"Oh, kertas ulangan tadi." gumamnya merasa mengenali kertas itu, ia merapikan kertas yang sudah tak mulus itu sambil berjalan. Mata Alva tertuju pada nama yang tertera di sudut atas kiri kertas itu.

Nama: Clara Gaby
Mapel: Matematika
Nilai: 98
Alva mengangguk paham kenapa kertas malang itu berada di dekat tong sampah, bukannya dibawa pulang oleh sang pemiliknya. Cowok itu melipat kertas itu beberapa lipatan, lalu memasukkannya ke dalam saku tasnya.

***

Terimakasih sudah mampir.

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang