Chapter 8

8.7K 427 1
                                    

***

Selamat Membaca

*

**
Khawatir
***

Konsentrasi Gaby benar-benar buyar, pikirannya masih tertuju pada Alva yang belum masuk dari tadi, jam pelajaran sudah berjalan selama 20 menit dan cowok itu belum juga masuk, kalau sampai 30 menit dia tidak masuk bakal di anggap cabut. Gaby mengoyang-goyang kakinya gelisah, matanya sesekali tertuju pada pintu masuk, berharap Alva masuk, dia tahu Alva pasti masih kaget mendengar ucapan para teman-temannya itu. Tapi tidak seharusnya Alva mengorbankan jam belajarnya juga.

Gaby kembali melirik jam tangannya, menunjukan 26 menit jam pelajaran yang telah dilalui, Alva belum juga masuk, ia menguncang kepalanya, bodoh amat, kenapa ia bisa kepikiran cowok sialan itu. Bagus jika Alva tidak masuk, nilainya bakal kurang dan bisa jadi ia naik peringkat.

Tapi dia juga tak sejahat itu, Gaby kembali melirik ke pintu masuk dan tepat saat itu Alva masuk, permisi pada Bu Dian yang mengajar saat itu dan berjalan ke mejanya dengan langkah gontai tanpa ekspresi. Gaby bernapas lega, ia baru bisa kembali konsentrasi mengikuti pelajaran.

***

Perpustakaan siang itu tampak sepi, hanya ada beberapa siswa kutu buku seperti Gaby yang betah di jam seperti ini di sana, tanpa peduli pada orang disekelilingnya. Dua jam pelajaran kosong, gara-gara rapat guru untuk acara hari Ibu besok yang akan diadakan tiga minggu lagi, biasanya sekolah ini mengadakan acara besar-besaran untuk mengundang Wali Murid mereka untuk berpartisipasi dan dari sana sekolah bakal dapat donasi yang cukup besar. Kenapa tidak, sekolah ini, salah satu sekolah bergengsi dan prestasi baik dibidang akademi maupun bidang lain, dibilang cukup membanggakan, tak heran jika siswa yang sekolah di sini hanya anak-anak kalangan atas.

Gaby masih fokus pada soal matematikanya, tanpa sadar Alva sudah duduk lima menit yang lalu di depannya. Ia baru menyadari Alva saat cowok itu mengetuk buku di tanggan Gaby beberapa kali. Hingga membuat cewek itu menoleh jengkel karena merasa cukup terganggu.

"Sejak kapan lo di sini?" tanya Gaby jutek menoleh sedikit pada Alva. Lalu kembali fokus pada bukunya.

"Hm... Lima menit lebih mungkin, gue cariin lo dari tadi ternyata disini, serius banget, orang-orang lagi happy bebas dari belajar, lo malah ke sini, nggak capek apa tu otak lo." tunjuk Alva tertawa pada kening Gaby.

"Lo bisa pergi nggak? Gue nggak butuh kultum lo di sini." sahutnya masih fokus ke soal-soalnya.

"Okey, gue bakal pergi juga, nggak mau coklat lo?" ucapnya membuat Gaby langsung tersenyum. Mengangguk cepat. Menatap cowok itu sambil mengedipkan matanya. Alva mengerjitkan keningnya, menyadari cewek di depannya ini memang penggila coklat kelas atas.

"Mana? Gue mau, janji lo, kan? kalau nggak, gue lapor Pak Charles, nih." ancam Gaby sedikit tersenyum. Idenya oke juga untuk mendapatkan coklat dari Alva. Alasan yang tepat untuk mengadukan semua ucapan Baim dan temannya pada Pak Charles.

"Haha, lo sama aja kek yang lain, sumpah, kalau masalah coklat, gue yang lo benci banget jadi berubah baik banget yah, di otak lo cuma ada coklat dan buku doang." tunjuk Alva pada kening Gaby lagi, Gaby menjauh, menepis tangan cowok itu jengkel.

"Alva yang kurang ganteng. Lo kalau kesini cuma gangguin gue, pergi aja, gue tau kok tujuan jelek lo dekatin gue, biar nilai gue rendahkan? Terus nilai lo masih sama kek biasa, lo tahu kan, sampai kucing jadi presiden aja kita nggak bakalan bisa jadi teman." jawab Gaby panjang lebar membuat Alva tertawa terbahak, ia sampai memukul meja di depannya.

"Haha... kucing jadi presiden, istilah dari mana tu, lo dapat?" sahut Alva masih tertawa. Gaby menghentikan pekerjaannya menatap cowok di depannya dengan mata yang makin lebar, kesalnya makin memuncak ketika Alva tertawa. Apa dia masih bisa bahagia mengingat besok pertandingan dan ia akan dicelakai.

"Pergi nggak lo?" Gaby mengayunkan bukunya ke arah Alva yang masih tertawa.

"Eiitsss, sabar Bro, ntar coklat ini gue kasih Caca lagi." ucapnya mengeluarkan coklat berukuran sedang dari saku celana seragamnya. Mata Gaby membulat melihat coklat itu, padahal ia baru saja menghambiskan dua batang coklat. Dan sekarang coklat itu kembali menggodanya. Memang tidak sadar diri.

"Okey, lo mau apa, sini coklatnya?" sahut Gaby serius.

"Masih sama kayak kemaren, Gue mau lo tutup mulut dan jangan kasih tahu siapapun dan sampai kapanpun." jelas Alva serius spontan membuat Gaby menaikan alisnya bingung. Jadi cowok ini benar-benar akan ikut pertandingan besok. Pikirnya.

"Kenapa? Lo bakalan ikut juga pertandingan itu, udah jelas teman lo itu mau nyelakain lo." kata Gaby bingung.

"Ikut lah, gue udah sejauh ini dan besok itu final, jadi anggap aja lo nggak dengar apa-apa waktu itu." Alva Menyodorkan coklat Itu kehadapan Gaby yang kini menatapnya dengan tatapan heran, Alva tidak menyerah, dan rela dicelakai.

"Bersikap aja kek biasanya, seperti lo nggak tahu apa-apa tentang gue dan tetap aja seperti gue ini musuh berat lo." kata Alva serius. berdiri dari tempat duduknya sedikit tersenyum. Gaby masih bingung matanya tak lepas dari wajah Alva yang membuatnya makin heran.

"Jadi lo mau cedera, gila lo." Gaby menatap Alva khawatir. Ia benar-benar tidak ingin hal itu terjadi. Alva menatap cewek itu serius, diam, tidak menyangka kalau Gaby jadi cukup khawatir pada dirinya padahal ia tahu kalau selama ini Gaby cukup membencinya. Alva tersenyum, menggeleng sedikit.

"Serius amat lo, santai aja dong, gue cabut yah, bye." jawab Alva sambil mengacak rambut Gaby spontan membuat cewek itu menghindar, menatap Alva dengan raut muka makin bingung.

"Al? lo serius mau ikut, gimana kalau kaki lo patah dan nggak bisa jalan lagi." tanya Gaby lagi dengan muka serius. Ia masih tidak terima jika cowok itu main dan berakhir cedera.

"Kalau udah nasibnya gitu, gimana lagi." jawab Alva sedikit tertawa beranjak pergi dari hadapan Gaby. Gaby memajukan mulutnya manyun, menoleh ke arah coklat yang di pegangnya menoleh ke arah Alva yang semakin menjauh.

"Eh, Al? Ini Coklat dari fans lo yah?" tanyanya sedikit berteriak ke arah Alva yang langsung menoleh kembali.

"Yah nggak lah, baru gue beli juga." jawab Alva kesal melambaikan tangannya pada Gaby, keluar dari perpustakaan.

Gaby mengaruk kepalanya, ia bingung, bagaimana jika cowok itu benar ikut, bagaimana jika ia cedera, tidak bisa berjalan lagi. Gaby menggeleng serius, ia tidak mau memikirkannya dan berharap saja Alva berubah pikiran.

Starlight (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang