***
Tante Rahma baru saja pamit pergi, Gaby menatap dua kotak berukuran hampir sama itu dengan tatapan datar.
Alva mendekati Gaby yang masih diam tak berkutik dari tempat duduknya.
"Lo, nggak apa?" tanya Alva duduk disamping Gaby.
Gaby menoleh, menatap Alva datar, lalu mengangguk sedikit tersenyum."Gue...nggak apa?" jawabnya lirih, lalu kembali diam. Menatap kado itu datar, Ia tidak tahu apa sebenarnya hubungan mamanya dengan tante Rahma yang datang tiba-tiba, yang mengatakan kalau papanya akan menikahi orang itu, dan orang itu bilang ia juga mengenal ibunya. Hubungan semacam apa yang di miliki Papa, Mama dan tante Rahma.
"Gab....serius nggak kenapa nih, yuk pulang, udah sore." Ajak Alva serius menatap Gaby masih bingung, dan tak biasa.
Gaby mengangguk lemas, dan menoleh ke arah Alva.''Coklat, Al, gue butuh coklat." ucapnya serius. Lalu berdiri, memangku dua kado itu dan beranjak dari tempat duduk nya.
Alva ikut berdiri, ia menatap Gaby serius yang berjalan keluar dari Cafe dengan langkah gontai. Alva mengikuti nya dengan seribu pertanyaan yang ingin sekali ia lontar kan pada cewek itu.
Tapi segera ia urungkan mengingat Gaby memang tampak lebih serius dan seperti tak bertenaga dari biasanya.
"Gab...lo, kalau marah, marah aja ke gue, gue emang salah. kan gue yang ngajak lo kesini." ucapnya cepat berdiri didepan Gaby. Gaby menoleh menatap Alva datar. detik berikut nya ia tersenyum. membuat Alva bingung.
"Kenapa juga gue harus marah, Al. gue cuma merasa lucu aja sama diri gue sendiri." Ucap Gaby serius. Alis Alva terangkat ia tak mengerti ucapan Gaby.
"yuuk, gue benar-benar butuh coklat saat ini." ucapnya refleks menarik tangan Alva dan mengajaknya pergi ke arah tempat parkir mobil Alva.
"Jujur kenapa sih, Gab. Kalau lo marah, benci, bilang aja." ucap Alva Serius. Gaby menggeleng cepat.
"Gue nggak apa, nggak usah coklat, anterin gue tempat mama dong, gue lagi nggak punya tenaga buat naik taxi." ucapnya serius ke arah Alva. Alva mengangguk dan membuka pintu mobilnya, menyuruh Gaby masuk.
***
Tiga puluh menit berikut nya, Alva dan Gaby sudah berada di pemakaman itu."lo, tunggu sini aja, gue bentar kok." Ucap Gaby turun dari mobil Alva.
Alva mengangguk, menuruti, tapi sebenarnya ia tidak berpikir akan tinggal disini, membiarkan Gaby sendiri ke sana dengan ke adaan yang tidak jelas kalau cewek itu sedang baik-baik saja atau tidak. lalu diam-diam mengikuti Gaby dari jarak cukup jauh, melihat gerak gerik Gaby hingga sampai ke makam itu.
Gaby duduk bersimpuh seperti biasa di sana, sedikit tersenyum dan mulai menyapa mama nya.
"Hallo! ma, aku datang lagi." sapa Gaby mencoba tersenyum seperti biasanya, seperti tidak ada hal yang terjadi dengannya, padahal hati-hati nya benar-benar remuk saat ini. Ia sangat ingin bercerita banyak pada mamanya, tentang semuanya, tapi ia tak punya kekuatan untuk mengatakan itu, dan ia ingin sekali berteriak sekuat tenaga, kalau ia sedang punya banyak sekali masalah, ingin sekali ia mengacak acak isi kepalanya, lalu ia berharap semua ingatannya menghilang.
Gaby menunduk terdiam, ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya lagi, ia mengipas-ngipas matanya yang mulai terasa panas dengan kedua tangannya.
''Gue, nggak apa, nggak boleh nangis disini." batinnya terus mengipas matanya itu dengan gerakan cepat.
Alva melihat hal itu jadi terdiam, ia melihat Gaby dengan tatapan tak percaya. Ucapan Caca kembali teringat, ia ingat Caca pernah berkata kalau Gaby tidak pernah nangis di makam ibunya dan semua itu benar, bahkan Alva menyaksikan sendiri, kalau cewek itu sekarang sedang berusaha agar tidak menangis disana.
Tanpa sadar Alva makin mendekat, ia sudah berdiri di belakang Gaby yang masih berusaha tidak menangis.
"Ma, aku bawa teman ni, yang aku cerita in dulu, kalau dia pintar banget dan nggak perlu belajar kayak aku." ucapnya dengan suara bergetar, ia masih berusaha agar tidak menangis dengan cara bercerita.
Alva masih Diam, berdiri di belakang Gaby. Cewek itu tidak menyadari kehadiran Alva disana, ia hanya fokus berharap tidak menangis di depan mamanya.
"Ma, besok aku ujian, doain yah, dan aku minta maaf, aku harus pulang udah sore, besok pulang ujian aku kesini lagi kok." tambahnya cepat, lalu detik berikutnya ia kembali menunduk.
Air mata terus terasa sangat memaksa Gaby untuk menangis. Gaby berusaha tersenyum. Ia kembali mengipas-ngipas matanya.
"Nggak sedih kok ma, aku nggak apa, cuma kelilipan. Aku pulang yah." pamit nya dengan suara makin bergetar. Menekan sudut matanya, agar tidak menangis. Dengan cepat Gaby berdiri dan berbalik arah refleks kaget melihat Alva berdiri di di depan nya menatap Gaby sedih.
"Yuuk, Al. Pulang." ucapnya beranjak pergi dari hadapan Alva dan berlari sekuat tenaga. Ia berharap kalau ia terjatuh dan semua ingatan itu hilang, tentang semuanya.
Alva membalikan tubuhnya menatap Gaby terduduk di depan mobilnya. Ia ikut berlari mengejarnya.
Alva sudah Berdiri di depan Gaby yang memukul mukul dadanya kuat. Alva menunduk refleks menarik Gaby kedalam pelukannya.
"kok gini sih, Gab, nangis aja, nggak usah di tahan.'" lirih Alva sedih, ia tak menyangka ada cewek sekuat ini.
"Al... Lo bisa pukul kepala gue nggak...yang kuat." ucapnya dengan suara bergetar, ia masih memukul-mukul dadanya yang semakin terasa sesak, bahkan sangat tidak bisa ia kendalikan.
"Gue mau ingatan gue ilang semua..." tambahnya lagi. Ia mulai menangis, air matanya sudah tidak bisa di bendung lagi.
"Plisss, nangis sepuasnya, lo memang butuh itu, kenapa harus lo tahan sih, cewek begok, kenapa lo hidup kayak gini, sih." Ucap Alva serius, ia benar tidak sanggup melihat apa yang ia lihat sekarang, seorang cewek yang selalu terlihat jutek, emosi, ternyata begitu rapuh.
Gaby menangis, ia mengeluarkan semua air matanya yang sudah ia simpan selama ini, Ia memang sudah tidak kuat lagi menahan semua isi hatinya.
Tangisan itu lama-lama berubah jadi isakan, terdengar cukup pilu. Setiap orang yang akan mendengarnya akan merasa isakan itu isakan paling memilukan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight (Completed)
Teen Fiction"Tahap Revisi" ☺ Ada baiknya follow dulu baru baca. "Gaby, gadis yang menganggap nilai adalah segalanya bagi nya, dan berharap masuk ke kelas terbaik ketika SMA, tapi semua berubah setelah dia masuk ke kelas itu dan ia jadi membenci cowok yang jadi...