***
Kunjungan
***
Alva berjalan perlahan mendekati sebuah pusara. Sudah lama ia tidak datang kesini, mungkin sudah 1 tahun lebih, bukan ia tidak mau, hanya saja ia tak mau bersedih. Tak ada yang berubah hanya saja warna nisan di pusara itu yang sudah mulai memudar di makan waktu. Alva menarik napasnya dan mencoba tersenyum.
Ia menatap lurus nama yang tertulis di nisan itu, mencoba sedikit tersenyum.
"Hy... Ghei!" sapa Alva bertekuk lutut meletakkan bunga mawar putih kesukaan Gheisa di atas pusara itu.
"Sorry, aku baru bisa ngunjungin kamu sekarang, kamu baikkan, di sana?" ucapnya lirih kembali tersenyum.
"Aku disini juga baik, kamu tahu, beberapa kali aku menang basket lagi di sekolah, dan kemaren juga." lanjutnya dengan mata berkaca, ia menyeka sudut matanya yang terasa perih.
"Maafin aku, untuk sekian kalinya." Suara Alva bergetar. Ia menarik napasnya dan kembali berbicara.
"Karena nggak nepatin janji aku, buat ngunjugin kamu tiap hari, aku cuma punya waktu hari minggu untuk libur, itu paginya aku mesti latihan basket, kamu tahukan? Rumah aku sekarang udah jauh," jelasnya lirih, sedikit tersenyum.
"Tapi... Aku janji, besok aku ngunjugi kamu tiap hari minggu, karena aku nggak bakalan latihan lagi, jadi aku bisa sering-sering kesini." tambahnya tersenyum lalu diam. Kembali menunduk. Lalu detik berikutnya ia mendongakan kepalanya, Ia menatap lurus pusara itu, masih tak percaya dan semua masih terasa baru di ingatannya.
Ia masih ingat jelas bagaimana gadis itu memanggilnya dan berlari mengejarnya jika Alva mengejeknya anak gendut dan ingusan. Alva menggeleng kepalanya, ia tak mau lagi mengingat itu, dan masih berusaha melupakannya.
"Oh yah, aku balik dulu, ntar keburu kemalaman, dan takutnya Bik Inah nyariin aku." ucapnya serius.
"See you yah, bye." ucapnya lagi mengusap nama di batu nisan itu, ia berdiri dan beranjak pergi meninggalkan pemakaman yang sepi itu.
***
Alva duduk diatap sekolah tempat ia biasanya nyantai bersama Baim, Nick, Rio dan Dion. Menatap lurus ke anak-anak yang sedang bermain di lapangan sekolah.
"Al... Gue tahu lo disini?" ucap Caca spontan membuat Alva menoleh, melihat Caca berjalan pelan padanya dan duduk di samping Alva yang menatapnya bingung.
"Lo nggak apa?" tanya Caca datar ikut menatap lurus kedepannya.
"Gue? baik,"
"Kenapa?" tanya Alva balik.
"Lo boleh jujur ke gue, kenapa lo keluar?" tanya Caca lagi. Alva melirik cewek di sampingnya itu dengan tatapan datar lalu kembali tersenyum.
"Pengen aja, gue mau fokus ke belajar, lo tahu kan, kalau sepupu lo itu sekarang satu kelas sama gue." ucap Alva sedikit tersenyum.
"Haa? Gue yakin nggak karena itu, jujur aja, kenapa lo keluar?" Caca tak mau menyerah. Ia tahu Caca adalah orang yang bakalan tidak mau mundur sekalipun kalau ada mau ya, jadi salah satu cara terbaiknya ialah diam.
"Kalau lo nggak mau jawab sekarang, gue tunggu besok, dan gue tahu banget Al, lo tu siapa? Basket itu favorit lo banget, jadi nggak mungkin banget lo keluar begitu aja tanpa alasan nggak jelas gini, apalagi alasan lo mau fokus belajar karena sepupu gue, nggak keren banget." ucapnya panjang lebar dan di jawab Alva dengan anggukan saja.
"Asal lo tahu aja, sepupu gue itu nggak ada apa-apanya dari lo, dia aja udah stress berat pas satu kelas sama lo, dia belajar mati-matian tiap malam itu karena dia mau kuliah di Oxford, cuma itu aja, dia bukan saingan berat lo, dia bukan tandingan lo, jadi kalau soal itu lo nggak usah khawatir, gue udah kasih rahasia Gaby ke lo." ucap Caca lagi dengan nada serius, sedikit tersenyum pada Alva. Alva ikut tersenyum.
"Tapi saudara lo, tahu alasan gue keluar? Tanya dia aja" ucapnya senyum. Caca menaikan alisnya bingung, lalu detik berikutnya ia terkekeh.
"Haha, becanda lo, mana mungkin orang secuek dia tau." jawabnya tak percaya, mana mungkin Gaby tahu, yang ia tahu Gaby membenci cowok itu.
"Nggak percaya, tanya aja ke dia," ucap Alva lagi.
"Nggak mungkin, gue aja sebut nama lo di rumah dia langsung tutup telinga saking bencinya sama lo." sahut Caca serius.
"Gitu ya, benci banget dia sama gue? Tapi dia lumayan cantik juga dari lo." Balas Alva membuat Caca memajukan mulutnya manyun, lalu tangannya spontan memukul bahu Alva kuat, membuat Alva meringis kesakitan, mengusap bahunya. Caca merasa tidak terima jika Gaby dibilang lebih cantik dari dirinya.
"Sakit banget." Balas Alva tersenyum, ia tahu Caca pasti marah kalau disebut Gaby lebih cantik daripada dirinya.
"Gue serius soal ini, kalau gue dekatin nggak ada salahnya kan? Lo nggak keberatan, kan?" ucapnya tertawa, Caca menatapnya dengan tatapan kesal, lalu detik berikutnya ia mengangguk.
"Boleh, tapi dia nggak bakalan mau, gue jamin, dia kan benci banget sama lo." ucapnya dengan nada serius sedikit tersenyum.
"Yah sekarang benci, besok bisa jadi suka sama gue." Balasnya terbahak, Caca menaikan alisnya bingung, ia berharap semoga saja tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight (Completed)
Teen Fiction"Tahap Revisi" ☺ Ada baiknya follow dulu baru baca. "Gaby, gadis yang menganggap nilai adalah segalanya bagi nya, dan berharap masuk ke kelas terbaik ketika SMA, tapi semua berubah setelah dia masuk ke kelas itu dan ia jadi membenci cowok yang jadi...