***
Sementara itu, Gaby sudah berada di makam mamanya. Ia duduk bersimpuh di tanah, sedikit tersenyum. Memandangi batu Nisan yang bertulisan " Novilda", nama Mamanya disana.
Ia mengelus perlahan nama itu, masih sedikit tersenyum. Hal yang selalu ia lakukan jika berada disini, walaupun ia sedang sedih, sedang dalam masalah, ia masih berusaha tetap tersenyum jika datang kesini, dengan alasan, Gaby tidak mau ia terlihat rapuh di depan mamanya. Bahkan ia selalu menahan air mata yang terus mendesak untuk keluar dari sudut matanya.
Ia akan mencari cara agar air mata itu tak turun dengan memikirkan hal-hal yang ia anggap menyenangkan."Hallo! ma, sorry aku jarang datang kesini." ucapnya lirih. Gaby menarik napas perlahan lalu Menghembuskannya berat.
"Mama tahu, aku kangen banget sama mama, mama apa kabar?" tambahnya.
Gaby terdiam, ia menatap lurus makam itu, ia bingung harus mengatakan apa lagi sama mamanya. Ia diam beberapa detik, lalu detik berikut nya ia mulai berbicara lagi.
" Oh iya ma, Aku juga baik kok, disini, bentar lagi aku ujian, doain yah, biar nilai si Alva turun." ucapnya tersenyum memikirkan ucapannya, soal doa jelek yang ia pinta pada mama nya.
"Oh iyah ma, nggak apa-apa kan kalau aku nggak jadi masuk Oxford, soalnya aku lagi malas belajar. Dan kayaknya aku juga nggak bisa kesana, karena udah pasti aku nggak bisa ngalahin si cowok nyebelin itu. Mama tahu, dia bisa semua nya, dia bisa apa yang nggak aku bisa" ucapnya kesal. Mengepal tangannya, Lalu tersenyum.
Gaby merebahkan kepalanya di batu nisan mama nya. Ingin sekali ia lebih lama disini dan menceritan semua yang terjadi padanya sekarang, menceritakan kalau papa juga tidak pernah ada untuknya. Kalau oma juga tidak pernah menanyakannya soal apapun, dan berubahnya Caca yang membuat ia sangat kecewa, tapi ia tidak mau jika mamanya tahu ia sedang sedih, ia tidak mau jika mamanya akan sedih jika melihat ia hancur seperti ini. Ia tidak punya keberanian untuk mengatakan semua itu, ia hanya bisa mengubur kesedihan dan ingatan itu dalam-dalam jauh didalam hatinya.
Pak Rahmat dari kejauhan, melihat ke arah Gaby dengan raut muka sedih, ia selalu sedih jika harus mengantar Gaby kesini. Ia tahu, Gaby selalu Berusaha tegar jika berada disini, meski ia sendiri sedang dalam masalah, rapuh, dan ingin menangis, satu hal yang selalu membuat pak Rahmat meneteskan air matanya. Ia tidak pernah melihat Gaby sekali pun menangis di pusara mama nya sejak ia menjadi sopir Caca dan Gaby. Pak Rahmat melangkah, mendekat, memegang bahu Gaby membuat Gaby menoleh.
"Nak Gaby, yuk pulang, udah mau gelap.'' ucapnya serius. Gaby mengangguk, dan mengangkat kepala nya.
Ia baru sadar sekarang sudah menunjukan pukul 6 sore.
"Ma, aku pulang, besok aku kesini lagi, oke, bye mama,... baik-baik yah disini. aku juga bakal baik-baik kok." ucap Gaby berdiri. Pak Rahmat ikut berdiri, ikut pamit dan mengikuti Gaby.
"Gaby mau makan, disini ada tempat makan enak lo." tawar pak Rahmat serius. Gaby menoleh, lalu mengangguk tersenyum.
"Boleh, tau aja Aku belum makan." ucapnya tersenyum.
"Iya dong, tadi bapak lihat, nak Gaby cuma makan coklat aja, nanti sakit dan ujian bentar lagi kan, semangat." ucapnya tersenyum ke arah Gaby. Gaby mengangguk tersenyum.
"Makasih pak, tapi bapak traktir yah.'' tuntut Gaby tertawa. Pak Rahmat mengangguk tersenyum.
"Pasti, kan bapak yang ngajak." ucapnya ikut tertawa.
Gaby mengangguk tersenyum. Pak Rahmat menoleh ikut tersenyum. Ia sudah menganggap Gaby sebagai anaknya sendiri.
"Kalau ada yang mau Gaby ceritakan, cerita aja. bapak siap dengerin kok." katanya, membuat Gaby menoleh, lalu Mengangguk.
"oke, pak, siap...! " ucap Gaby masih tersenyum.
Pak Rahmat mengangguk, la merasa bersyukur jika Gaby sudah ceria tak seperti pertama kali ia antar tadi.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight (Completed)
Teen Fiction"Tahap Revisi" ☺ Ada baiknya follow dulu baru baca. "Gaby, gadis yang menganggap nilai adalah segalanya bagi nya, dan berharap masuk ke kelas terbaik ketika SMA, tapi semua berubah setelah dia masuk ke kelas itu dan ia jadi membenci cowok yang jadi...